SEKILAS FAIDAH AQIDAH DAN MANHAJ DARI DAURAH SYAR’IYYAH KE-18 (Edisi 3)
Oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi
Kajian Kitab Ad-Durrah Al-Mudhiyyah Fi Aqdi Ahli al-Firqah Al-Mardhiyyah oleh Imam As-Safaariini rahimahullahu
Rabu 12 Juli 2017/ 18 Syawwal 1438 H sesi 3 dan 4 .
1. Ungkapan “Kita perlakukan hadits-hadits tentang sifat Allah apa adanya (sesuai dzahirnya)” telah disampaikan oleh para ulama salaf. Imam Malik rahimahullahu berkata : Istiwa’ (secara bahasa) itu sudah dimaklumi. Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya ucapan Abul ‘Aliyah (seorang ulama tabi’in) rahimahullahu yang berkata : Istiwa’ artinya (Allah) itu tinggi.
2. Ketika orang-orang itu lebih mendahulukan akal mereka daripada nash (Al-Qur’an dan hadits) dalam masalah nama dan sifat Allah maka mereka pun saling kontradiksi. Seperti kelompok Al-Asy’ariyah, sebagian mereka ada yang hanya menetapkan 7 sifat, sebagian ada yang menetapkan 13 sifat dan ada pula yang menetapkan 20 sifat[1].
3. Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa membahas masalah nama dan sifat Alllah termasuk perkara mutasyabihaat (hal yang samar-samar)[2]. Ini adalah ucapan yang tidak benar.
4. Tafwidh (menyerahkan ayat dan hadits sifat kepada Allah) itu ada dua macam : Menyerahkan bagaimananya sifat Allah tersebut dan menyerahkan maknanya. Tafwidh menurut salaf itu adalah menyerahkan bagaimananya sifat Allah kepada Allah. Adapun secara makna maka itu sudah dipahami.
5. Diantara perbedaan yang mendasar antara ahlussunnah dan kelompok Al-Asy’ariyah adalah bahwa kelompok Al-Asy’ariyah mereka mengatakan bahwa kewajiban pertama seseorang adalah merenungkan (alam semesta). Adapun ahlusunnah mengatakan yang wajib pertama kali adalah mentauhidkan Allah.
6. Kita menetapkan nama dan sifat Allah serta menafikan (sifat yang tidak layak bagi-Nya) harus berdasarkan dalil (Al-Qur’an dan hadits yang shahih).
7. Ucapan yang mengatakan bahwa pemimpin itu ditaati kalau dia berhukum dengan hukum Allah adalah ucapan yang berlandaskan manhaj yang menyimpang (khawarij).
8. (Dalam pembahasan nama dan sifat Allah, metode ahlussunnah adalah) menetapkan secara terperinci dan menafikan secara global) seperti firman Allah :
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ۬ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS. Asy-Syuura : 11)
9. Wali Allah menurut ahlussunnah wal jama’ah adalah mereka yang telah Allah firmankan :
أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ (٦٢) ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَڪَانُواْ يَتَّقُونَ
“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus : 62-63)
10. Ahlussunnah berkeyakinan bahwa setiap nash yang shahih adalah dalil/hujjah (dalam aqidah). Adapun ahli kalam (ahli bid’ah) mereka berpendapat bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam aqidah.
——————————————————-
[1] Adapun ahlussunnah wal jama’ah menyatakan bahwa sifat Allah tidak terbatas dengan bilangan sebagaimana nama-Nya tidak terbatas dengan bilangan.
[2] Bagaimana pembahasan tentang ini dikatakan mutasyabihaat, padahal ini berkaitan dengan Allah yang kita ibadahi dan kita sembah setiap hari? bagaimana dikatakan mutasyabihaat sedangkan Al-Qur’an penuh dengan hal ini? bagaimana dikatakan mutasyabihaat padahal ini adalah ilmu yang paling mulia menurut ulama salaf? bagaimana ayat tentang hal ini dikatakan mutasyabihaat padahal ayat yang termulia yaitu ayat kursi hanya berkaitan dengan nama dan sifat Allah?.