WEJANGAN SEPUTAR POLITIK (Edisi 2)
Syaikh Abdul Malik Ramadhani –hafidzahullahu– berkata[1] :
Aku tidak perlu untuk menjelaskan bahwa politik termasuk bagian dari agama, karena sesungguhnya aku yakin bahwa tidaklah level kalian yang setinggi ini menjadikan kalian menuduh penulis bahwa dia memisahkan antara agama dan negara[2]. Dan tidaklah yang menyingkirkan syariat melainkan jahiliyah yang dimurkai (Allah) :
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَـٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمً۬ا لِّقَوۡمٍ۬ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS. Al-Maidah : 50).
Ketahuilah, bahwa sebab kegagalan kelompok pergerakan Islam pada saat ini dalam memperbaiki kerusakan yang universal adalah kesalahan mereka dalam metode perbaikan. Yaitu ketika mereka masuk ke dalam kubangan politik dan menjadikannya sebagai pondasi reformasi. Meskipun mereka mengaku di atas metode yang benar dan dakwah yang komplit serta manajemen yang profesional. Adapun masuk ke dalam kancah politik pada saat ini maka tidaklah yang melakukannya melainkan orang-orang yang telah terjebak dalam jaring-jaring setan untuk membinasakannya dalam puncak kejelekan[3]. Setan pun membujuknya dengan rayuan bahwa tidak boleh meninggalkan parlemen untuk orang-orang fasik dan sekuler[4]. Dan bahwasanya tidak boleh bagi seorang muslim untuk tidak bersuara. Dan bahwasanya undang-undang Yahudi itu hampir diterapkan di negeri ini dan itu seandainya tidak ada menteri ini dan itu. Dan masih banyak lagi propaganda-propaganda yang tidak dibangun di atas pandangan syar’i, sebagaimana juga tidak dibangun di atas pandangan fakta di lapangan[5]. Orang yang jujur dalam renungan dan penelitiannya di lapangan akan mendapati sekelompok orang yang masuk ke dalam (kubangan politik) dengan tujuan untuk merubah, namun justru mereka yang terubah[6]. Maka sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mendatangi pintu pemimpin maka dia akan terfitnah”. (HSR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Baihaqi).
Dan dalil tentang larangan duduk bergabung dengan mereka dalam parlemen (kubangan politik) adalah firman Allah:
وَقَدۡ نَزَّلَ عَلَيۡڪُمۡ فِى ٱلۡكِتَـٰبِ أَنۡ إِذَا سَمِعۡتُمۡ ءَايَـٰتِ ٱللَّهِ يُكۡفَرُ بِہَا وَيُسۡتَہۡزَأُ بِہَا فَلَا تَقۡعُدُواْ مَعَهُمۡ حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِى حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦۤۚ إِنَّكُمۡ إِذً۬ا مِّثۡلُهُمۡۗ
Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. (QS. An-Nisa : 140).[7]
BERSAMBUNG..
————————————————————
[1] Diringkas dan diterjemahkan dari kitab Madaariku an-nazhar fi as-siyasah baina ath-thatbiiqaat asy-syar’iyyah wa infi’aalaat al-hamasiyah hal.196-197 oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al-Jazaairi cet.Maktabah Al-Furqan 1422 H/2001.
[2]Namun sangat disayangkan ada saja yang mengira kalau kita menolak politik secara mutlak. Ya inilah keajaiban dunia.
[3] Hingga seorang ustadz “salafi” pun yang telah bergelar doktor menjadi paranormal yang meramal nasib/karir orang kafir dengan istilah ijtihad ulama. Ya, itulah ulama paranormal. Sungguh benar firman Allah:
وَزَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيۡطَـٰنُ أَعۡمَـٰلَهُمۡ فَصَدَّهُمۡ عَنِ ٱلسَّبِيلِ فَهُمۡ لَا يَهۡتَدُونَ
dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk (QS. An-Naml : 24)
Dan yang lebih menakjubkan lagi, ternyata sang doktor mengikuti jejak gurunya yang juga terseret ke dalam jurang politik hingga tidak tahu kalau Islam itu telah menjelaskan tentang kekuasaan dan bahwasanya Islam berlepas diri dari demokrasi. Inilah kata peribahasa “Guru kencing berdiri murid kencing berlari”, hingga akhirnya terkotorilah aqidah keduanya. Na’udzu billah min dzalika.
[4] Dan ini syubhat yang sering dikumandangkan oleh harakiyyin yang sekarang juga menyebar dikalangan para pengaku pengikut salaf.
[5] Itu hanya kekerdilan akal dan ketakutan dengan bayangan sendiri. Dan lebih parah lagi, jika hal itu dibangun diatas ramalan meski dinamakan ijtihad (ijtihad dalam meramal) seperti riba dinamakan bunga, dukun/paranormal dinamakan orang pintar (pintar menyesatkan). Laa haula wa laa quwwata illa billahi.
[6] Seperti yang kita lihat di negeri yang kita cintai ini, satu demi satu tokoh-tokoh partai Islam itu berguguran di tengah jalan. Fitnah syahwat dan syubhat telah menjerat mereka, mereka melegalkan kesyirikan dan kebidahan dan sebagian mereka tertangkap KPK. Bahkan yang menyandang gelar ustadz/doktor “salafi” ketika mulai bermesraan dengan politik sudah mulai nampak terkena racunnya hingga ucapan dan komentarnya jauh menyimpang dari ilmu dan aqidah salaf. Semoga Allah menetapkan hati kita diatas aqidah dan manhaj salaf hingga akhir hayat nanti.
[7] Dan ini diantara dalil para ulama salaf untuk melarang kita bermajlis/bersatu dengan ahli bid’ah. Namun karena politik juga terkadang yang mengaku sebagai da’i “salafi” bermesraan dengan ahli bid’ah/harakiyyin. Itulah politik sekarang yang membuat sebagian da’i “salafi” mabuk kepayang.