SYAIKH AL-ALBANI MEMBANTAH DOKTOR “SALAFI” SEPUTAR BID’AH AMALIYAH
Dakwah Salafiyah yang mubarakah ini alhamdulillah berkembang pesat di negeri yang kita cintai ini. Cahaya dakwah ini tidak hanya menembus dan menerangi perkotaan namun juga pelosok-pelosok desa di penjuru tanah air dari Sabang sampai Merauke. Semakin hari semakin tinggi menjulang pohon dakwah ini, hingga semakin kencang pula angin yang berhembus kepadanya. Inilah sunnatullah, dunia penuh dengan ujian dan cobaan meskipun dari orang dalam sendiri.
Salafiyun di negeri ini sejak dahulu kala sudah memahami dengan mantap bahwa peringatan maulid nabi itu bid’ah yang sesat yang harus dijauhi (titik). Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dan masyayikh dakwah salafiyah. Namun diakhir-akhir ini ada seorang “doktor” yang mengkaburkan permasalahan ini (ada unsur penggembosan). Semakin dia menjelaskan semakin menambah kebingungan dikalangan sebagian salafiyin. Dan sempat beberapa saat yang lalu penulis ketika safari dakwah mendapatkan pertanyaan seputar hal ini. Dikatakan bahwa maulid nabi itu bid’ah amaliyah yang tidak boleh kita menyesatkan (mengatakan sesat) pelakunya, itu masalah khilaf diantara para ulama[1], ada ulama syafi’iyyah yang menganjurkan[2], pelakunya tidak bisa dikatakan ahli bid’ah, bid’ah amaliyah tidak bisa mengeluarkan pelakunya dari ahlussunnah. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Ada apa gerangan dengan doktor-doktor kita ini?
Gerakan apa yang sedang mereka lancarkan terhadap dakwah salafiyah ini?
Apakah mereka mau menderadikalisasi atau mereformasi Dakwah Salafiyah?
Untuk menjawab syubhat sang doktor, mari kita simak bersama ucapan ahli hadits abad ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu yang tercantum dalam kitab Al-bida’ wal mubtadi’un baina al-muhaqqaq wa al-mazhnun hal 67-72 yang disusun oleh murid setia dan murid senior beliau, yaitu Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari hafidzahullahu dengan judul bab:
“Yang bisa mengeluarkan seseorang dari ahlussunnah”
Pertanyaan: Sebagian orang berkata: Sesungguhnya barangsiapa yang melakukan bid’ah yang mengkafirkan maka dia keluar dari ahlussunnah. Dan barangsiapa yang melakukan bid’ah yang menfasikkan maka dia tidak keluar dari ahlussunnah meskipun telah tegak hujjah baginya dan dia terus menerus di atas bid’ahnya. Apakah saat itu dia masih dianggap ahlussunnah?
Syaikh Al-Albani berkata kepada sang penanya: Apa bid’ah yang mengkafirkan itu? Dan apa bid’ah yang menfasikkan itu?
Sang penanya berkata: Bid’ah yang mengkafirkan itu seperti melakukan bid’ah yang kufur semisal mengatakan Allah tidak istiwa’/tinggi diatas langit dan yang semisal dengannya. Dan bid’ah yang menfasikkan itu seperti melakukan bid’ah ibadah (amaliyah) semisal (peringatan) maulid.
Syaikh Al-Albani berkata: Ucapan diatas itu tidaklah benar, sumber (kesalahan) ini dari ilmu kalam. Membedakan antara bid’ah dalam ushul dan bid’ah dalam furu’ atau bid’ah dalam aqidah dan bid’ah dalam hukum (amaliyah) itu adalah pembagian yang bid’ah.
Seandainya ada seseorang yang melaksanakan salah satu sunnah Rasul r semisal shalat sunnah fajar/subuh dan dia melaksanakannya empat rakaat dan dia terus menerus melakukannya. Ini termasuk bid’ah yang mana? Yang mengkafirkan atau yang menfasikkan?
Sang penanya menjawab: Termasuk yang menfasikkan.
Syaikh mengatakan: Ini adalah ucapan yang batil. Ini termasuk hal-hal yang diwarisi oleh orang belakangan dari yang terdahulu yaitu membedakan antara kesalahan dalam furu’ dan kesalahan dalam ushul: Kesalahan dalam furu’ itu ditoleransi (dimaafkan) dan kesalahan dalam ushul itu tidak ditoleransi. Sedangkan dalam hadits yang telah dikenal keshahihannya, Rasul r bersabda: Apabila seorang hakim berijtihad lalu dia benar maka baginya dua pahala dan jika dia salah maka dia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim)
(Dikatakan oleh sebagian orang) ini dalam masalah furu’. Adapun dalam masalah ushul, kesalahan itu tidak bisa ditoleransi.
Ini adalah ucapan yang tidak ada dasarnya, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah maupun ucapan para salafush shalih.
Yang ada dalam ucapan para salafush shaleh adalah peringatan keras terhadap bid’ah secara mutlak baik dalam masalah aqidah atau ibadah.
Seandainya ada seorang muslim berbuat bid’ah dan telah jelas kebid’ahan itu baginya dan dia terus dalam kebid’ahannya seperti yang telah aku contohkan tadi (shalat sunnah fajar empat rakaat), maka orang ini sama dengan yang mengingkari bahwa Allah ada diatas makhluk-Nya atau sama dengan yang mengingkari al-qur’an itu kalamullah. Tidak ada bedanya antara yang ini dan yang itu.
Kita katakan: dia adalah mubtadi’/ahli bid’ah -dengan syarat tadi- dan telah ditegakkan hujjah atasnya.
————————————————————–
[1] ليس كل خلاف جاء معتبرا إلا خلاف له حظ من النظر
Tidak semua khilaf itu bisa dianggap
Melainkan khilaf yang memiliki dalil yang kuat
[2] Mana yang kita ikuti, Rasul dan sahabat atau ulama syafi’iyyah? bukankah imam Asy-Syafi’i rahimahullahu pernah berpesan: Kaum muslimin telah sepakat bahwa seandainya telah jelas sunnah rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak boleh ditinggalkan karena ucapan siapapun (I’lam Al-Muwaqqi’in 2/263) dan Beliau juga berkata: Apabila ucapanku menyelisihi ucapan rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka buang jauh-jauh ucapanku.