HALALKAH SEMBELIHAN AHLI KITAB?
Halalkah Sembelihan Ahli Kitab?[1]
Ahli kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nashara dari Bani Israil, yang berpegang dengan taurat serta injil. Adapun orang-orang Shabiah, Nashara arab, yang berpegang dengan lembaran-lembaran Ibrahim, Syisy dan Zabur Daud masih diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka termasuk ahli kitab atau bukan?
Adapun ahli kitab, mereka dibiarkan menjalankan agama mereka dan diambil jizyah dari mereka, sesuai dengan kesepakatan para ulama.[2]
Sebagaimana para ulama telah bersepakat akan halalnya menikahi perempuan-perempuan merdeka dari ahli kitab, kecuali apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar akan larangan menikahi perempuan nashara.[3]
Dan sebagian ulama berpendapat akan bolehnya menikahi budak dan wanita-wanita al-harb serta yang tidak suci dari wanita-wanita ahli kitab. Dan para ulama sepakat untuk menghalalkan mereka semua dengan perbudakan.[4]
Adapun sesembelihan mereka, maka halal secara ijma’ ulama, apabila mereka menyebut nama Allah atas sembelihan mereka. Dan mereka berselisih menjadi dua pendapat tentang kehalalannya, jika mereka tidak menyebut nama Allah. Yang benar adalah diharamkan, dan ini adalah ucapan Ali, An-Nakha’I, Malik, Syafi’I, Hammad, Ishaq, Abu Hanifah dan para sahabat beliau, dan juga riwayat dari Ahmad.[5] Dan ini juga yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, Abul Barakaat dan Ibnu Katsir serta yang lainnya dari para pakar ulama’.[6]
Yang demikian itu, berdasarkan firman Allah:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. [QS.Al-An’am : 121].
Tasmiyah [membaca basmalah] merupakan syarat bagi orang yang ingin menyembelih, baik dia seorang muslim atau ahli kitab”.[7]
Memakan makanan mereka yang tidak diharamkan adalah mubah bagi kita, demikian juga dengan minuman mereka dan penggunaan bejana-bejana mereka adalah boleh hukumnya. Namun apakah dimakruhkan/dibenci penggunaannya, disini ada dua pendapat dari para ulama dan keduanya adalah riwayat dari Ahmad. Adapun pakaian mereka, maka apa yang tidak mereka pakai atau yang dipakai diatas kepala mereka, seperti imamah/sorban dan baju atasan, maka itu suci. Dan apa yang menempel pada aurat mereka seperti celana, baju bawahan dan sarung, maka diriwayatkan dari Imam Ahmad, beliau berkata: Aku lebih suka untuk dia mengulanginya, maksudnya: yang melaksanakan shalat dengan memakai pakaian tersebut. Sedangkan Abu Hanifah dan Syafi’i membenci sarung dan celana (ahli kitab), karena mereka tidak bersuci ketika beribadah dan tidak berhati-hati dari hal-hal yang najis. Maka yang jelas (kuat), adalah najis pakaian yang menempel dengan aurat mereka”.[8]
——————————————————
[1] Dinukil dan diterjemahkan dari kitab At-Takfir wa Dhawaabithuhu hal. 131-133 oleh Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily
[2] Lihat: Al-Ifshah oleh Ibnu Hubairah 2/239, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 13/203 dan Ahkam ahli dzimmah oleh Ibnul Qayyim 1/1.
[3] Lihat: Al-Ifshah oleh Ibnu Hubairah 2/94, Bidayah Al-Mujtahid oleh Ibnu Rusyd 2/44 dan Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 9/545.
[4] Lihat: Tafsir Ath-Thabari 4/447, 448, Al-Ijma’ oleh Ibnu Mundzir hal.78, Bidayatul Mujtahid 2/45 dan Ahkamu ahlidz dzimmah oleh Ibnul Qayyim 2/419-430.
[5] Al-Ijma’ oleh Ibnu Mundzir hal.58, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 13/311 dan Ahkamu ahlidz dzimmah oleh Ibnul Qayyim 1/244-250.
[6] Lihat: Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 13/311, 312, Ahkamu Ahlidz dzimmah oleh Ibnul Qayyim 1/250, Tafsir Ibnu Katsir 3/40 dan Kitabul Ath-‘imah wa ahkamish shoid wadz dzabaaih oleh Syaikh Shaleh Al-Fauzan hal.108.
[7] Lihat: Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 13/311.
[8] Lihat: Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 1/109-111 dan ahkamul qur’an oleh Ibnul Arabi 2/41 dan Tafsir Al-Qurthubi 6/80.