MELURUSKAN PEMAHAMAN YANG SALAH TENTANG MENGGANTI HUKUM ALLAH YANG MENGELUARKAN PELAKUNYA DARI ISLAM
Harus dibedakan antara sekedar mengganti hukum Allah dengan hukum manusia (alias tidak berhukum dengan hukum Allah) dan mengganti hukum Allah dengan hukum manusia lalu diklaim itu sebagai hukum Allah. Adapun yang pertama, maka ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu: Adapun hukum mubaddal yaitu berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak boleh dilaksanakan atau diamalkan dan tidak boleh diikuti. Pelakunya diantara kekafiran, kefasikan dan kezhaliman (tidak kafir secara mutlak) [1]. Adapun yang kedua, maka hukumnya kufur akbar (tapi dengan syarat diklaim sebagai hukum Allah atau dinisbatkan kepada Allah dengan dusta).
• Syaikh Bandar bin Nayif Al-Utaibi hafizhahullahu berkata:
- Masalah Tabdil yaitu berhukum dengan selain hukum Allah dan diklaim sebagai hukum Allah, maka hukumnya sepakat ulama mengatakan ini kufur besar. Hal ini dikarenakan ada keterkaitannya dengan juhud/pengingkaran yaitu penisbatannya kepada hukum Allah mengandung bentuk pengingkaran terhadap hukum Allah yang dia tinggalkan. Pelakunya kafir dalam kondisi seperti ini meskipun dia hanya mengganti satu permasalahan saja atau sekali saja, tidak ada ukuran bilangan disini, karena ijma’ tidak mengikatnya dengan bilangan (demikian pula dengan At-Tasyri’ ‘Aam/hukum umum). Dan tidak boleh mengikat dalil tanpa dalil.
- Salah jika ada yang mengira bahwa Tabdil (yang menjadikan pelakunya kafir) tidak melazimkan adanya penisbatan hukum tersebut kepada agama (kepada Allah). Hal ini dikarenakan:
1- Ibnul ‘Arabi berkata -hal ini juga dinukil oleh Syaikh Asy-Syinqithi dari Al-Qurthubi rahimahumullahu seraya membenarkannya: “Jika dia berhukum dengan selain hukum Allah dengan diatasnamakan hukum Allah, maka ini adalah Tabdil yang mengharuskan kekafiran.” [2]
2- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Hukum yang mubaddal itu adalah dusta atas Allah dan Rasul-Nya…barangsiapa yang mengatakan (hukum yang dibuatnya) ini merupakan syariat Allah maka dia kafir tanpa ada perselisihan. [3]
Aku katakan: Beliau (Syaikhul Ibnu Taimiyah dan juga Ibnul ‘Arabi) menafsirkan hukum mubaddal (yang menjadikan pelakunya kafir) dengan hukum yang diklaim dari Allah secara dusta atas nama Allah dan Rasul. [4]
• Dan ini pula yang dikatakan oleh Syaikh Khalid Al-Anbari hafizhahullahu: “Adapun Tabdil (yang menjadikan pelakunya kafir) yang dimaksud oleh para ulama adalah berhukum dengan selain hukum Allah kemudian membuat kedustaan dengan mengatakan itu hukum Allah yang disyariatkan kepada hamba-hambanya. Dan telah berlalu ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul ‘Arabi. [5]
• Dan ini pula yang dipegang erat oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu ketika berdialog dengan sebagian dai harakah [6]:
- Salman Al-Audah berkata: “Seandainya dia berhukum dengan syariat yang telah dihapus, seperti agama Yahudi dan mewajibkannya kepada manusia serta menjadikannya sebagai hukum/undang-undang umum, memberi sanksi bagi yang menolaknya dengan dipenjara, dibunuh, diasingkan dan yang semisal dengannya?!”
- Syaikh Bin Baz rahimahullahu menjawab: “Apakah dia menisbatkannya kepada syariat atau tidak?!”
- Salman Al-Audah berkata: “Dia berhukum dengannya tanpa mengatakan yang demikian itu dan dia menjadikannya sebagai pengganti (hukum Allah).”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Adapun jika dia menisbatkannya kepada syariat (Allah) maka ini kufur.”
- Salman berkata: “Kufur besar atau kecil?”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Kufur besar, apabila dia menisbatkannya kepada syariat. Adapun apabila dia tidak menisbatkannya kepada syariat [7], namun hanya sekedar membuat undang-undang, maka tidak kufur (besar). Seperti orang yang mencambuk manusia tanpa hukum syariat, dia mencambuk, membunuh manusia atau sebagian dari mereka karena hawa nafsunya.”
- Salman berkata: “Tidakkah dibedakan -semoga Allah menjaga anda- antara kejadian tertentu dengan dia menjadikannya sebagai hukum/undang-undang umum untuk semua orang [8]?!”
- Syaikh bin Baz menjawab: “Adapun jika dia menisbatkannya kepada syariat, maka dia kafir. Namun jika tidak menisbatkan kepada syariat dan dia menganggapnya dapat memperbaiki diantara manusia, padahal itu tidak syar’i, dan bukan dari Allah dan Rasul-Nya, maka ini adalah suatu kejahatan, tapi tidak sampai kepada kufur akbar –ini yang aku yakini-.” [9]
[1] Ar-Rûh 1/742 oleh Imam Ibnul Qayyim cetakan Dâru ‘Âlam Al-Fawâid.
[2] Ahkâmu Al-Qurân 2/625 dan Adhwâ’ Al-Bayân 1/407.
[3] Al-Fatâwa 3/268.
[4] Al-Hukmu Bighairi Ma Anzalallâhu hal. 20-21 oleh Syaikh Bandar Al-‘Utaibi hafizhahullahu dengan diberi muqaddimah serta rekomendasi oleh ulama kibar Lajnah Daimah Arab Saudi yaitu Syaikh Muhammad bin Hasan bin Abdurrahman Alu Asy-Syaikh. Dan penulis pernah bertanya kepada Syaikh Ali Abu Haniyah hafizhahullahu tentang kitab ini dan beliau berkata: “Itu termasuk kitab terbaik dalam bab ini (berhukum dengan selain hukum Allah)”.
[5] Al-Hukmu Bighairi Ma Anzalallâhu hal. 166 footnote no. 1 oleh Syaikh Khalid Al-Anbari hafizhahullahu. Dan buku ini dipuji oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu.
[6] Dari sini pula kita tahu bahwa inilah syubhat haraki dan sekaligus kita tahu perbedaan antara manhaj dan aqidah Ulama ahlussunnah dengan dai harakah.
[7] Renungkan perincian Samahatusy Syaikh rahimahullahu tentang kaidah takfir dan sikap tegas beliau dalam hal ini.
[8] Sama persis dengan yang dinyatakan oleh yang membuat statement yang telah direvisi “Termasuk syirik rububiyah yang paling berbahaya zaman sekarang adalah mengganti hukum Allah dengan hukum buatan manusia”, tapi tetap saja itu salah.
[9] Al-As’ilah An-Najdiyah hal. 19-21 oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari rahimahullahu. Alhamdulillah buku ini sudah kita terjemahkan lebih dari sepuluh tahun yang lalu dan insyaAllah kita akan posting di medsos. Dan itu pula yang juga kita yakini bahwa tidak ada pembedaan antara berhukum dengan selain hukum Allah dalam kasus tertentu dengan mengganti hukum Allah dengan hukum buatan manusia. Tetap harus ada perincian tentang hukumnya, bukan kufur besar secara mutlak.
Link PDF: