MEMBANTAH SYUBHAT PENGKAFIRAN AT-TASYRI’ AL-‘AAM (HUKUM UMUM)
Syaikh Bandar bin Nayif Al-Utaibi hafizhahullahu berkata:
– At-Tasyri’ Al-‘Aam yaitu berhukum dengan selain hukum Allah dan menjadikan hukum tersebut umum untuk semua yang di bawah kekuasaannya. Maksudnya: Apabila seseorang mengganti/istibdal hukum Allah dengan selainnya dan mengharuskan orang-orang yang di bawah kekuasaanya untuk mengamalkannya, namun jika tanpa istihlal/penghalalan, juhud/pengingkaran, takdzib/pendustaaan, tafdhil/pengutamaan, taswiyah/penyamaan, dan tidak menisbatkannya kepada agama Allah maka ini hukumnya kufur kecil.
– Hal ini karena tidak ada dalil yang menyatakan akan kekufuran (besarnya). (Dalil-dalil) syariat Islam tidak mengaitkan kufur besar dengan hukum umum atau melazimkannya kepada yang lain. Sebagaimana dalil-dalil (syariat) tidak membedakan antara yang berhukum dengan hukum umum dan yang berhukum pada kasus/kejadian tertentu. Dan juga tidak membedakan antara yang berhukum dan mengharuskan bawahannya untuk melaksanakannya dan yang tidak mengharuskan.
– Seandainya pembedaan (hukum umum dan hukum pada kasus tertentu) itu benar, maka tidak mungkin syariat tidak menjelaskannya dan pasti ada dalil-dalil syariat yang menguatkannya.
– Sebagian orang-orang yang terhormat berhujjah akan kekafiran hukum umum dengan kelaziman, dengan mengatakan tidak mungkin dia merubah hukum Allah dengan hukum sendiri dan menjadikannya hukum umum untuk bawahannya melainkan dia meyakini hukumnya itu lebih bermanfaat dan lebih baik dari hukum Allah. Hujjah seperti ini tertolak dari empat sisi:
- Ulama telah mengikrarkan bahwa kelaziman madzhab bukan madzhab, kecuali jika dia memahaminya dan berpegang teguh dengannya.
- Kelaziman diatas terkadang tidak terjadi, karena bisa jadi yang berhukum tadi masih meyakini bahwa syariat Islam lebih bermanfaat/baik.
- Ahlussunnah tidak mengkafirkan kecuali dalam hal yang tidak lagi mengandung kemungkinan-kemungkinan. Sebagaimana kata Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu: Kami tidak mengkafirkan kecuali yang telah disepakati oleh semua ulama. [1]
- Pengkafiran tersebut mengharuskan pengkafiran terhadap yang telah disepakati oleh Ahlussunnah akan ketidak kafirannya. Seperti seorang bapak membuat aturan maksiat di rumahnya dan mengharuskan keluarganya untuk mentaatinya, orang seperti ini tidak kafir menurut Ahlussunnah.
– Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu dulu berfatwa mengkafirkan hukum umum akan tetapi beliau telah ruju’ darinya [2]. Dan ini adalah fatwa terakhir beliau:
• Adapun jika dia membuat hukum umum yang dijalankan oleh umat dan dia berpendapat itu ada kemaslahatannya karena ada bisikan (dari orang sekelilingnya), maka ini juga tidak kafir. Hal ini dikarenakan kejahilan dari kebanyakan para penguasa tentang ilmu syariat.
• Dan apabila dia mengetahui hukum syariat namun dia berhukum dengan yang lain atau membuat hukum yang lain dan menjadikannya sebagai undang-undang umum (yang wajib) dilaksanakan oleh manusia sedangkan dia meyakini dirinya itu zhalim dan dia meyakini bahwa yang benar itu hukum Al-Quran dan As-Sunnah, maka kita tidak bisa mengkafirkannya.
• Kita mengkafirkan yang berpendapat bahwa selain hukum Allah lebih utama atau semisal dengan hukum Allah, maka ini kafir. [3]
[1] Ad-Durar As-Saniyah 1/102.
[2] Al-Hukmu Bighairi Ma Anzalallâhu hal. 32-35 oleh Syaikh Bandar Al-‘Utaibi hafizhahullahu dengan diberi muqaddimah serta rekomendasi oleh ulama kibar Lajnah Daimah Arab Saudi yaitu Syaikh Muhammad bin Hasan bin Abdurrahman Alu Asy-Syaikh. Dan penulis pernah bertanya kepada Syaikh Ali Abu Haniyah hafizhahullahu tentang kitab ini dan beliau berkata: Itu termasuk kitab terbaik dalam bab ini (berhukum dengan selain hukum Allah).
[3] Idem hal. 71-72.
Link PDF: