SUMBER RADIKALISME DAN TERORISME* (Edisi 2)
Kesesatan Muhammad Quthub
- Salah mengartikan kalimat tauhid [1] Lâ Ilâha Illallâh.
Muhammad Quthub mengatakan ketika menjelaskan makna Lâ Ilâha Illallâh: “Maknanya adalah tidak ada sesembahan kecuali Allah dan tidak ada hakim (yang menghukumi) kecuali Allah”. [2]
Ucapan yang bathil di atas ini menunjukkan akan kejahilan Muhammad Quthub tentang hakikat tauhid yang murni kepada Allah. Ucapan tersebut menyelisihi ucapan Ahlussunnah wal jamaah. Menafsirkan Lâ Ilâha Illallâh dengan “Tidak ada sesembahan kecuali Allah” merupakan penafsiran yang bathil, karena sesembahan yang disembah selain Allah amat banyak. Akan tetapi mereka semua disembah dengan bathil bukan dengan yang haq. Oleh karena itu, tafsir yang benar bagi kalimat tauhid Lâ Ilâha Illallâh adalah tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Demikianlah penafsiran Ahlussunnah wal jamaah sejak dahulu hingga sekarang. Dan itulah yang dibenarkan dalam Al-Quran. Firman-Nya:
ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدۡعُونَ مِن دُونِهِ ٱلۡبَٰطِلُ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡعَلِيُّ ٱلۡكَبِيرُ
Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang bathil; dan sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS. Luqmân: 30)
Adapun tentang penafsiran Muhammad Quthub dengan ucapannya “Tidak ada hakim kecuali Allah”, maka simaklah ucapan Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah berikut ini: “Pada saat ini ada orang yang menafsirkan Lâ Ilâha Illallâh dengan mengEsakan Allah dalam hukum. Ini adalah penafsiran yang salah, karena masalah hukum itu hanyalah bagian dari makna Lâ Ilâha Illallâh, bukan inti dari makna kalimat yang agung tersebut.
Akan tetapi makna yang benar adalah “Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah” dengan berbagai macam bentuk ibadah. Termasuk di dalamnya mentauhidkan Allah dalam masalah hukum. Seandainya manusia mencukupkan diri dengan tauhid hakimiyah tanpa melaksanakan bagian lain dari bentuk ibadah, maka mereka tidak termasuk sebagai kaum muslimin. Oleh karena itulah, para pengikut pemikiran ini (takfiriyyin, quthbiyyin, harakiyyin [3]), tidak melarang dari kesyirikan (seperti penyembahan terhadap wali-wali yang telah mati) dan tidak memperhatikannya. Bahkan mereka menamakannya dengan syirik biasa-biasa saja (tidak berbahaya).
Sesungguhnya syirik yang sebenarnya (kata mereka) adalah syirik dalam hakimiyah (syirik istana) yang mereka namakan dengan syirik politik. Oleh karenanya mereka memfokuskan dakwah kepadanya saja. Dan mereka menafsirkan syirik dengan mentaati penguasa yang zhalim”. [4]
- Pengkafiran terhadap yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak.
Muhammad Quthub mengatakan: “Islam tidak membedakan antara syiar-syiar ibadah dan penerapan aturan kemasyarakatan, ekonomi, politik dan yang bercabang dari aqidah ini. Dan Islam tidak membedakan antara orang-orang yang melarang penerapan hukum-hukumnya sebagai orang-orang kafir secara nama maupun realita atau sebagai kaum muslimin secara nama namun kafir secara realita. Allah berfirman:
وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ
Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Mâidah: 44)” [5]
Ucapan Muhammad Quthub disini adalah bathil (menyelisihi ucapan para ulama salaf dan ini merupakan warisan kelompok Khawarij). Diantaranya, Al-Jashshash berkata: “Kelompok Khawarij mentakwilkan ayat ini (QS. Al-Mâidah: 44) untuk mengkafirkan orang yang meninggalkan hukum Allah meskipun dia tidak mengingkarinya”. [6]
- Seruan Kudeta.
Muhammad Quthub berkata: “Tidak akan mungkin kemungkaran di masyarakat ini terjadi dan penguasa meridhainya atau dia sebagai penyebabnya kecuali jika dia adalah pemimpin yang zhalim yang wajib untuk diperangi dalam rangka jihad di jalan Allah dan mengharapkan pahala dari Allah” [7]. [8]
Ucapan Muhammad Quthub ini adalah untuk meneruskan pemikiran Khawarij yang menyimpang dan untuk memprovokasi umat -khususnya para pemuda untuk memberontak kepada penguasa kaum muslimin, menumpahkan darah, membunuh orang-orang yang tidak berdosa, menyalakan api fitnah dan kekacauan di tengah-tengah kaum muslimin [9].
LINK PDF:
[*] Diringkas dan diterjemahkan dari kitab Kasyfu Al-Astâr ‘Amma Fî Tandzîmi Al-Qâidah Min Afkâri Wa Akhthâr oleh Abu Abdillah Umar bin Abdul Hamid Al-Bathusy hafizhahullah.
[1] Sebagaimana saudaranya diatas yaitu Sayyid Quthub.
[2] Haula Tathbîqi Asy-Syarîah hal. 20.
[3] Takfiriyyin adalah kelompok yang hobi mengobral vonis kafir kepada kaum muslimin. Quthbiyyin adalah fans berat Sayyid Quthub. Harakiyyin adalah kelompok harakah/pergerakan yang fanatik kepada kelompoknya.
[4] Syarhu Kasyf Asy-Syubuhât hal. 46.
[5] Syubuhât Haula Al-Islâm hal. 205.
[6] Ahkâmu Al-Qurân 2/459.
[7] Padahal ijma’ ulama ahlussunnah wal jamaah mengharamkan kudeta terhadap pemimpin muslim yang zhalim, seperti yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim 12/229.
[8] Syubuhât Haula Al-Islâm hal. 207.
[9] Hambal rahimahullahu pernah berkata: “Para fuqaha’ Baghdad berkumpul pada zaman Watsiq kepada Abu Abdillah (Ahmad bin Hambal rahimahullahu) dan mereka berkata kepada beliau: Sesungguhnya ucapan bahwa Al-Quran adalah makhluk telah menyebar dan membesar. Dan kita tidak rela dengan kekuasaan dan kepemimpinannya.
Imam Ahmad pun kemudian menasehati mereka seraya berkata: Yang wajib bagi kalian adalah mengingkari dengan hati-hati kalian dan janganlah kalian memberontak serta memecah belah barisan kaum muslimin. Jangan kalian menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Lihatlah akibat semua yang akan kalian lakukan dan bersabarlah hingga orang yang baik menjadi tentram dan yang fajir dibinasakan.
Beliau juga berkata: Melakukan pemberontakan bukanlah suatu hal yang benar bahkan hal itu menyelisihi atsar”. (Al-Âdâb Asy- Syar’iyyah 1/137 oleh Ibnu Muflih rahimahullahu).
Imam Ahmad rahimahullahu juga berkata: “Wajib untuk kita mendengar dan taat kepada para penguasa kaum muslimin yang baik maupun yang zhalim…Berjihad bersama para penguasa yang baik maupun yang zhalim sampai hari kiamat…Barangsiapa yang memberontak kepada penguasa kaum muslimin, yang manusia bersatu dibawah benderanya dan mereka menyetujui akan kekhalifahannya baik dengan ridha maupun penaklukan maka orang khawarij ini telah memecah belah persatuan kaum muslimin dan telah menyelisihi atsar dari Rasulullah . Jika orang Khawarij/pemberontak ini mati maka dia mati dalam keadaan jahiliyah. Diharamkan bagi siapapun juga memberontak dan memerangi penguasa. Barangsiapa yang melakukan pemberontakan maka dia adalah seorang mubtadi’/ahli bid’ah bukan di atas sunnah”. (Ushûl As-Sunnah oleh Imam Ahmad atau Syarhu I’tiqâd Ahlissunnah Wal Jamâah 1/180-181 oleh Al-Lalikai rahimahullahu).
Ucapan Imam Ahmad diatas juga diucapkan oleh Imam Ali Al-Madini rahimahullahu dalam Syarhu I’tiqâd hal. 188-189.