BAGAIMANA MENTAUHIDKAN NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH?
• Kedudukan Ilmu Tentang Tauhid Asma Wa Sifat Serta Referensinya
Imam Al-Lalikai Asy-Syafi’i (wafat tahun 418 H) rahimahullahu berkata: Sesungguhnya yang paling wajib (dipelajari) oleh seorang hamba adalah ilmu tentang aqidah dan apa yang Allah wajibkan atas mereka dari memahami tauhid dan sifat-sifat-Nya serta membenarkan para rasul-rasul-Nya dengan dalil-dalil dan keyakinan serta berusaha menggapai jalan-jalannya berdasarkan hujjah dan bukti yang nyata.
Dan hujjah yang paling agung dan terang benderang adalah:
- Kitabullah (Al-Quran) yang haq dan jelas.
- Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ucapan para sahabat beliau yang mulia dan yang bertakwa.
- Ijma’ para salafush shalih.
Kemudian berpegang teguh dengannya serta konsisten diatasnya dan menjauhkan diri dari bid’ah dan tidak mendengarkan bid’ah/penyimpangan (dai-dai) penyesat umat. [1]
• Makna Tauhid Asma’ Wa Sifat
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu berkata: Diantara iman kepada Allah juga adalah mengimani (menetapkan) nama-nama-Nya yang Maha Indah dan sifat-sifat-Nya yang Maha Tinggi yang tercantum dalam kitab-Nya yang mulia dan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahihah tanpa ditahrif (diselewengkan maknanya), tanpa dita’thil/diingkari, tanpa di takyif/dibagaimanakan, dan tanpa ditamtsil/diserupakan (dengan makhluk). Bahkan wajib untuk memahami nash-nash tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya sesuai zhahirnya tanpa ditakyif dengan tetap mengimani makna mulia yang terkandung di dalamnya dari sifat-sifat Allah yang wajib disifati dengannya yang sesuai dengan kebesaran-Nya dan tidak serupa sama sekali dengan makhluk-Nya. Sebagaimana yang telah Allah firmankan:
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Asy-Syûra: 11)
فَلَا تَضۡرِبُواْ لِلَّهِ ٱلۡأَمۡثَالَۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
Janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpamaan terhadap Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui. (QS. An-Nahl: 74)
Inilah aqidah ahlussunnah wal jamaah dari kalangan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang mengikuti mereka dengan baik. Dan inilah yang dinukil oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullahu dalam kitab beliau Al-Maqâlât ‘An Ashâbi Al-Hadîts Wa Ahli As-Sunnah [2] dan juga dinukil oleh ahli ilmu dan iman.
- Imam Al-Auza’i rahimahullahu berkata: Imam Az-Zuhri dan Makhul rahimahumallahu ditanya tentang ayat-ayat sifat, maka mereka berdua menjawab: Pahamilah sesuai dengan zhahirnya.
- Al-Walid bin Muslim rahimahullahu berkata: Imam Malik, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ats-Tsauri rahimahumullahu ditanya tentang nash-nash sifat Allah, maka mereka semua menjawab: Pahamilah sesuai zhahirnya tanpa ditakyif.
- Imam Al-Auza’i rahimahullahu berkata: Kami dan para tabi’in sepakat mengatakan bahwa Allah ada di atas ‘Arsy dan kami mengimani apa yang ada di dalam As-Sunnah/hadits tentang sifat-sifat Allah.
- Rabi’ah bin Abi Abdirrahman -gurunya Imam Malik- rahimahumallahu pernah ditanya tentang sifat istiwa’ (ketinggian Allah di atas ‘Arsy) maka beliau menjawab: (Makna) istiwa’ tidaklah tidak diketahui (sudah dipahami), adapun bagaimananya tidak diketahui. Dari Allahlah risalah (Islam) ini dan tugas Rasul adalah menyampaikan dengan terang benderang serta tugas kita adalah membenarkan.
- Imam Malik rahimahullahu ketika ditanya juga tentang hal diatas, maka beliau menjawab: Makna Istiwa’ sudah dimaklumi, bagaimananya tidak diketahui, mengimaninya itu wajib dan bertanya tentangnya itu bid’ah. Kemudian beliau berkata kepada yang bertanya: Tidaklah aku melihatmu kecuali orang yang buruk/sesat. Dan beliau pun mengusirnya. [3]
Dan ini juga merupakan aqidah dan manhaj Imam Asy-Syafi’i, murid-murid beliau dan para senior ulama madzhab Asy-Syafi’i rahimahumullahu.
• Aqidah Imam Asy-Syafi’i dan Murid-murid Beliau Serta Para Ulama Madzhab Syafi’i Tentang Tauhid Asma’ wa Sifat:
- Imam Asy-Syafi’i (wafat tahun 204 H) rahimahullahu berkata: Dan tidaklah orang-orang yang menyifati Allah itu sampai kepada hakikat keagungan-Nya sebagaimana yang Dia sifatkan diri-Nya dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya. Aku memuji Allah dengan pujian yang layak bagi kemuliaan wajah-Nya serta keagungan kedudukan-Nya. [4]
Beliau juga berkata: Aqidah yang aku pegang erat dan aku melihat para ahli hadits yang aku menimba ilmu dari mereka semisal Sufyan dan Malik dan selain keduanya yang juga berpegang teguh dengannya yaitu mengikrarkan dua kalimat syahadat dan bahwasanya Allah ada diatas ‘Arsy-Nya, diatas langit-Nya. Dia dekat dengan hamba-Nya sesuai kehendak-Nya. Dan bahwasanya Allah turun ke langit dunia sesuai kehendak-Nya. [5]
Dan aqidah imam Asy-Syafi’i ini sudah masyhur di kalangan para ulama, seperti yang dinukil oleh Imam Ash-Shabuni rahimahullahu.
Imam Ash-Shabuni Asy-Syafi’i (wafat tahun 449 H) berkata: Imam kami yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu dalam kitabnya yang luas [6] dalam pembahasan memerdekakan budak beriman dalam kaffarah dan bahwasanya budak yang tidak beriman tidak sah dijadikan kaffarah, (beliau) berhujjah dengan hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam yang ingin memerdekakan budak perempuannya yang hitam untuk kaffarah. Maka beliau pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menguji sang budak seraya berkata: Siapa aku? Maka sang budak mengisyaratkan kepada beliau dan ke atas langit, maksudnya bahwa engkau adalah utusan Allah yang ada di atas langit. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Merdekakan dia, karena dia adalah wanita mukminah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memvonis sang budak sebagai seorang muslimah dan mukminah karena dia mengikrarkan bahwa rabbnya ada di atas langit dan dia tahu bahwa rabbnya tersifati dengan sifat ketinggian.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berhujjah dengan hadits tersebut ketika membantah pendapat yang membolehkan memerdekakan budak yang tidak beriman dalam masalah kaffarah, karena keyakinan beliau bahwa Allah di atas makhluk-Nya, di atas langit yang ketujuh , di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana ini adalah aqidah kaum muslimin ahlussunnah wal jamaah (yang asli dan sejati) dari kalangan salaf maupun khalaf. Beliau tidak akan berkata (berkeyakinan) jika beliau tidak meriwayatkan hadits yang shahih [7].
- Imam Al-Humaidi (murid Imam Asy-Syafi’i yang wafat pada tahun 219 H) berkata: Kita mengikrarkan/membenarkan apa yang dikatakan oleh Al-Quran dan Hadits, seperti firman Allah:
وَقَالَتِ ٱلۡيَهُودُ يَدُ ٱللَّهِ مَغۡلُولَةٌۚ غُلَّتۡ أَيۡدِيهِمۡ وَلُعِنُواْ بِمَا قَالُواْۘ بَلۡ يَدَاهُ مَبۡسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيۡفَ يَشَآءُۚ
Orang-orang Yahudi mengatakan tangan Allah terbelenggu. Tangan merekalah yang terbelenggu dan mereka dilaknat karena ucapan mereka. Bahkan kedua tangan Allah terbentang, Dia memberi sesuai kehendak-Nya. (QS. Al-Mâidah: 64)
وَٱلسَّمَٰوَٰتُ مَطۡوِيَّٰتُۢ بِيَمِينِهِۦۚ
Dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya. (QS. Az-Zumar: 67)
Dan yang semisal dengannya di dalam Al-Quran dan hadits. Kita tidak boleh menambahinya, tidak boleh mentafsirkannya (dengan tafsir yang batil), dan kita berhenti kemana Al-Quran dan As-Sunnah berhenti.
Dan kita mengatakan:
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
Allah yang Maha Pemurah tinggi di atas ‘Arsy. (QS. Thâha: 5).
Barangsiapa yang meyakini selain ini, maka dia adalah seorang mu’aththil (yang mengingkari) dan termasuk pengikut kelompok Jahmiyah”. [8]
- Imam Al-Muzani (murid Imam Asy-Syafi’i yang wafat pada tahun 264 H) berkata: Dia tinggi di atas ‘Arsy (dengan Dzat-Nya yang mulia). Dan Dia dekat dengan makhluk-Nya dengan ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu dan Dia mentakdirkan segala sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya. Dan Dia Maha Dermawan lagi Maha Mengampuni. يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. (QS. Ghâfir: 19)
Maha suci sifat-Nya dari menyerupai sifat makhluk-makhluk-Nya. [9] - Imam Abu Sa’id Ad-Darimi (wafat tahun 280 H) berkata (ketika membantah pengikut kelompok Jahmiyah): Adapun ucapanmu bahwa Allah tidak menyifati diri-Nya di suatu tempat, maka jika engkau membaca Al-Quran dan engkau memahami sedikit dari bahasa Arab, maka engkau akan mengetahui bahwa dirimu itu telah berdusta atas nama Allah. Hal ini dikarenakan Allah menyifati bahwa dirinya ada di suatu tempat. Dia menyebutkan bahwa dirinya di atas ‘Arsy dan ‘Arsy itu di atas langit. Hal ini telah diketahui oleh kebanyakan kaum wanita dan anak-anak, apalagi kaum laki-laki dewasa. Allah berfirman: ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
Allah yang Maha Pemurah tinggi di atas ‘Arsy. (QS. Thâha: 5). [10] - Imam Ibnu Khuzaimah (wafat tahun 311 H) berkata: Allah menetapkan bagi diri-Nya sifat wajah yang Dia sifati dengan kemuliaan dan kekekalan serta Dia nafikan darinya kebinasaan. Kami dan semua para ulama kami dari Hijaz, Tihamah, Yaman, Irak, Syam, dan Mesir (menyatakan) bahwa madzhab kami adalah menetapkan bagi Allah apa yang telah ditetapkan bagi diri-Nya dan kami mengikarkan dengan lisan-lisan kami hal tersebut serta membenarkan dengan hati-hati kami tanpa menyerupakan wajah-Nya dengan wajah salah satu dari makhluk.
Beliau juga berkata: Bab penjelasan bahwa Allah di atas langit, sebagaimana yang telah Allah kabarkan kepada kita di dalam kitab suci-Nya dan lewat lisan Rasul-Nya ‘alaihi as-salam. Dan sebagaimana yang telah dipahami oleh fitrah kaum muslimin baik dari kalangan ulama maupun yang awam, yang merdeka maupun budak, yang laki maupun yang perempuan, yang baligh maupun anak-anak. Dan setiap yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘ala, maka dia mengangkat kepalanya ke atas langit dan menegadahkan kedua tangannya kepada Allah, ke atas bukan ke bawah. [11] - Imam Abu Bakar Al-Ismaa’ili (wafat tahun 371 H) berkata: Para imam-imam ahli hadits meyakini bahwa Allah diseru dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan disifati dengan sifat-sifat-Nya yang Dia namakan dan sifatkan diri-Nya dengannya dan yang disifatkan oleh Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menciptakan Adam dengan tangan-Nya dan kedua tangan-Nya terbentang, Dia memberi sesuai dengan kehendak-Nya, tanpa diketahui bagaimananya. Dan bahwasanya Allah tinggi di atas ‘Arsy tanpa (kita ketahui) bagaimananya, karena Allah hanya mengabarkan bahwa Dia istiwa’/tinggi di atas ‘Arsy, namun Dia tidak mengabarkan kepada kita bagaimana istiwa’-Nya. [12]
- Imam Al-Lalika’i (wafat tahun 418 H) berkata: Dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang wajibnya mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya berdasarkan dalil naqli bukan dalil aqli. Inilah madzhab Ahlussunnah wal Jamaah.
Beliau juga berkata: Bab tentang riwayat-riwayat yang berkaitan dengan firman Allah: ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
Allah yang Maha Pemurah tinggi di atas ‘Arsy.” (QS. Thâha: 5). Dan bahwasanya Allah ada di atas ‘Arsy-Nya di atas langit. [13] - Imam Ash-Shabuni (wafat tahun 449 H) berkata: Ashabul hadits -semoga Allah menjaga yang masih hidup dari mereka dan merahmati yang telah meninggal dunia- bersaksi akan keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengenal Allah lewat sifat-sifat-Nya yang telah dijelaskan oleh wahyu-Nya dan kitab yang diturunkan-Nya atau yang disampaikan oleh Rasul-Nya dalam hadits-hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh para perawi terpercaya. Mereka menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah dalam kitab-Nya dan yang ditetapkan oleh Rasul-Nya. Dan mereka tidak meyakini adanya penyerupaan sifat Allah terhadap sifat makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa Allah menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam firman-Nya:
قَالَ يَٰٓإِبۡلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسۡجُدَ لِمَا خَلَقۡتُ بِيَدَيَّۖ
Allah berkata: Wahai Iblis apa yang menghalangimu untuk sujud kepada (Adam) yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku. (QS. Shâd: 75)
Mereka tidak menyelewengkan (makna) firman Allah dari yang sebenarnya seperti menyelewengkan makna kedua tangan dengan kedua nikmat atau dua kekuatan sebagaimana kelakuan kelompok mu’tazilah dan Jahmiyah -semoga Allah membinasakan mereka-. Dan mereka tidak mentakyif kedua tangan Allah atau menyerupakannya dengan tangan makhluk seperti kelakuan kelompok musyabbihah -semoga Allah mencampakkan mereka-. Allah melindungi ahlussunnah dari tahrif, tasybih, dan takyif. Dan Allah menganugerahkan kepada mereka pemahaman (yang benar) hingga mereka berjalan di atas jalan tauhid dan tanzih (mensucikan). Dan mereka meninggalkan ucapan ta’thil dan tasybih serta mengikuti firman Allah:
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Asy-Syûra: 11)
Beliau juga berkata: Ahlul Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah subhanahu wa ta’ala di atas langit yang ketujuh di atas ‘Arsy-Nya. Sebagaimana yang dikabarkan oleh Al-Quran dalam surat Yunus:
إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۖ مَا مِن شَفِيعٍ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ إِذۡنِهِۦۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡ فَٱعۡبُدُوهُۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa kemudian Dia tinggi di atas arsy. Dia mengatur segala urusan, tidak ada seorang pun yang bisa memberi syafaat kecuali setelah izin-Nya. Demikianlah Allah Rabb kalian maka ibadahilah Dia, tidakkah kalian ingat?!. (QS. Yûnus: 3). [14]
- Imam Al-Ashbahani (wafat 535 H) berkata: Ali bin Umar Al-Harbi menyebutkan dalam kitab As-Sunnah….beliau berkata: Diantara aqidah kami bahwa Allah memiliki ‘Arsy dan Dia di atas ‘Arsy. [15]
- Imam At-Tibrizi (wafat 740 H) berkata dalam qasidahnya:
Allah tinggi di atas langit dan Dia bersama kita dimana saja kita berada
Tanpa kita ketahui bagaimananya bukan seperti yang terlintas dalam (benak) ahli bid’ah. [16]
LINK PDF:
[1] Syarhu Ushûl I’tiqâd Ahlissunnah Wal Jamâah 1/7 cetakan keenam tahun 1420 H Dar Thayyibah oleh Imam Al-Lalikai rahimahullahu dengan Tahqiq Syaikh Dr. Ahmad Al-Ghamidi.
[2] InsyaAllah akan dilampirkan di makalah ini terjemahan aqidah beliau tersebut.
[3] Al-Aqîdah Ash-Shahîhah hal. 8-9 oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu.
[4] Ar-Risâlah hal.153 oleh Imam Asy-Syafi’i cetakan tahun 1437 H/2016 M Darul Hadits – Kairo Mesir.
[5] Ijtimâ’ Juyûsy Al-Islâmiyyah hal. 165 oleh Imam Ibnu Al-Qayyim dengan tahqiq Dr. ‘Awwad Abdullah Al-Mu’tiq cetakan kedua 1415 H/1995 M Maktabah Ar-Rusyd – Riyadh.
[6] Lihat kitab Al-Umm 7/204-205 cetakan pertama tahun 1420 H/2000 M maktab Al-Islami – Beirut, Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: Aku lebih suka untuk tidak memerdekakan kecuali budak wanita yang baligh dan beriman. Apabila dia bukan yang beriman kemudian dia menyifatkan (mengikrarkan) keislaman, maka itu sah. Mengabarkan kepada kami Malik dari Hilal bin Usamah, dari Atha’ bin Yasar dari Mu’awiyah bin Al-Hakam radhiyallahu ‘anhu bahwa dia berkata: Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki seorang budak wanita yang mengembala kambingku. Ketika aku mendatanginya aku mendapati ada kambing yang hilang, lalu aku bertanya kepadanya dan dia menjawab: Kambing tersebut dimakan serigala. Aku pun marah -sebagai manusia- aku pun menempeleng wajahnya. Apakah aku memerdekakannya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada sang budak wanita: Dimana Allah? Maka dia menjawab: Di atas langit. Rasul bertanya lagi: Siapakah aku?, Dia menjawab: Engkau adalah utusan Allah. Rasul bersabda: Merdekakan dia….(Redaksi hadits seperti ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahîhnya kitab Al-Masâjid wa mawâdhi’u ash-shalâh bab tahrîm al-kalâm fi ash-shalâh no. 537)
[7] Ahli bid’ah berusaha sekuat tenaga untuk melemahkan hadits tersebut karena tidak sesuai dengan aqidah mereka yang batil, padahal hadits tersebut ada dalam Shahîh Muslim dan dishahihkan juga oleh Imam Asy-Syafi’i dan para pakar ahli hadits. Itulah salah satu ciri khas ahli bid’ah sepajang zaman. Na’udzubillahi min dzalika.
[8] Ushûlussunnah oleh Imam Al-Humaidi hal. 56 cetakan Maktabah Ar-Rusyd 2001 dengan tahqiq, takhrij, dan ta’liq Syaikh Abdullah bin Sulaiman Al-Ghufaili.
[9] Syarhu As-Sunnah hal. 75 oleh Imam Al-Muzani cetakan Maktabah Al-Ghuraba’ Al-Atsariyah 1995 M/1415 H dengan tahqiq Jamaal ‘Azzuun.
[10] Naqdu Al-Imâm Abi Sa’îd Utsmân bin Sa’îd ‘ala Al-Marrisi Al-Jahmi Al-‘Anîd 1/444 cetakan pertama Maktabah Ar-Rusyd dan Syarikah Ar-Riyadh 1998 M/1418 H.
[11] Kitâb At-Tauhîd hal. 10-11 dan 110 oleh Imam Ibnu Khuzaimah cetakan Darul Kutub ‘Ilmiyah Beirut Lebanon 1978 M/1398 H dengan ta’liq Muhammad Khalil Harras.
[12] I’tiqâd Aimmah Ahli Al-Hadîts hal. 35 oleh Imam Abu Bakar Al-Isma’ili cetakan pertama Darul Fath 1995 M/1416 H dengan tahqiq Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis.
[13] Syarhu Ushûl I’tiqâd Ahlissunnah wal Jamâah 1/216, 220 dan 2/429 oleh Imam Al-Lalika’i cetakan Dar At-Thayyibah 1420 H dengan tahqiq Dr. Ahmad bin Sa’ad Al-Ghamidi.
[14] Aqîdah As-Salaf Ashâbi Al-Hadîts hal. 160-164 dan 175-176 oleh Imam Ash-Shabuni dengan tahqiq Syaikh Dr. Nashir Al-Judai’ cetakan kedua tahun 1419 H/1998 M Dar Al-‘Ashimah.
[15] Al-Hujjah fi Bayân Al-Mahajjah 1/265-266 oleh Imam Al-Ashbahani cetakan Dar Ar-Rayah 1999 M/1419 H dengan tahqiq Syaikh Muhammad bin Rabi’ Al-Madkhali.
[16] Syarhu Al-Qasîdah Al-‘Ajluniyah Fi Al-Aqîdah As-Salafiyah hal. 173 oleh Imam At-Tibrizi cetakan Markaz Al-Albani 2018 M/1439 H dengan ta’liq dan syarah Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi rahimahullahu.