BEDA AQIDAH ANTARA DR DAN MA
Telah beredar sebuah tulisan dari oknum DR. di antara isinya sebagai berikut:
“Pemimpin itu amanah, bila pemimpin berkhianat itu tidak ditaati.
Bila secara lisan pemimpin menyatakan netral, sedangkan di balik layar mendukung, menggunakan kekuasaannya untuk mendukung salah satu calon, maka sikap bermuka dua semacam ini adalah satu kedustaan dan kemungkaran, yang menjatuhkan kredibilitasnya, dan sudah barang tentu tidak wajib ditaati.
Ketaatan kepada pemimpin dalam syari’at Islam dibatasi dalam hal hal yang ma’ruf alias baik, sedangkan dalam tindakan pemimpin yang menyimpang dari tuntunan syari’at, tentu saja tidak boleh dituruti.”
▶️ Bantahan/Kritikan terhadap tulisan di atas:
– Tulisan oknum DR. di atas sangat bertolak belakang dengan apa yang dia susun (bersama ustadz yang lain) semasa masih bergelar MA. dalam makalah “Antara Abduh dan Ba’abduh”. Inilah beberapa statementnya dahulu yang membantah pernyataannya di atas:
“PRINSIP AHLUS SUNNAH DALAM MENYIKAPI PENGUASA
– Dan pada hadits lain Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam lebih tegas bersabda:
يَكونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لا يَهْتَدُونَ بهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِيْنِ في جُثْمَانِ إنْسٍ قالَ: قُلتُ: كيفَ أَصْنَعُ يا رَسولَ اللّٰهِ إنْ أَدْرَكْتُ ذلكَ؟ قالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيْرِ، وإنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Akan ada setelahku para penguasa yang tidak melakukan petunjuk-petunjukku dan tidak melakukan sunnah-sunnahku. Dan akan ada diantara mereka orang-orang yang hati-hati mereka adalah hati-hati syaitan yang terdapat di jasad manusia. Aku (Hudzaifah) berkata, Bagaimana aku harus bersikap jika aku mengalami hal seperti ini? Rasulullah bersabda, Engkau tetap harus setia mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun ia memukul punggungmu atau mengambil hartamu, maka tetaplah untuk setia mendengar dan taat! (Riwayat Muslim)
Adakah penguasa yang lebih dzolim dari penguasa yang tidak menjalankan syari’at Nabi, berhati setan, memukul rakyatnya, dan merampas harta mereka??
Suatu gambaran yang amat mengerikan, para pemimpin atau penguasa yang amat lalim, sampai-sampai dinyatakan hati mereka adalah hati setan. Bila seorang pemimpin telah berhati setan, maka ia akan menjadi bengis, berdarah dingin, korupsi, sewenang-wenang dan tidak kenal belas kasihan kepada orang lain. [1]
– Pada hadits lain Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَن رَأَى من أمِيرِهِ شيئًا يَكْرَهُهُ فلْيَصْبِرْ فإِنَّهُ مَن فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang melihat sesuatu dari pemimpinnya yang ia benci, maka hendaknya ia bersabar, karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah sejauh sejengkal, kemudian ia mati maka kematiannya bagaikan kematian jahiliyah. (Muttafaqun ‘alaih).
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk tetap bersabar jika melihat berbagai hal yang tidak kita sukai atau perbuatan mungkar yang dilakukan oleh penguasa. Bahkan barang siapa yang tidak bersabar dan keluar dari ketaatannya sehingga memisahkan diri dari jama’ah kemudian ia mati maka kematiannya dinyatakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kematian jahiliyah!
Ibnu Taimiyyah berkata: Dan merupakan ilmu dan keadilan yang diperintahkan untuk dilaksanakan adalah bersabar atas kedzoliman para penguasa dan kelaliman mereka, sebagaimana hal ini merupakan prinsip dasar Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. (Majmuu’ Fataawaa 28/179).
– METODE MENASEHATI PENGUASA
Dan pada firman Allah kepada Nabi Musa dan Harun saat diutus menuju Fir’aun:
فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو يخشى
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (QS. Thoha: 44)
Dan merupakan kewajiban atas orang-orang yang memiliki kecemburuan karena Allah, dan atas para da’i untuk memperhatikan batasan-batasan syariat dan menasehati pemimpin mereka dengan ucapan yang baik, bijak serta dengan cara yang baik pula, agar kebaikan itu bertambah banyak dan kejelekan semakin berkurang.
Dan agar da’i kepada jalan Allah bertambah, semakin giat untuk berdakwah dengan cara yang baik, bukan dengan kekerasan, menasehati para pemimpin dengan segala cara yang baik dan selamat, serta mendoakan mereka di tempat yang terpisah: semoga Allah memberi hidayah kepada mereka, menunjukkan dan membantu mereka kepada kebaikan. Dan semoga Allah menolong mereka untuk dapat meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan, serta menegakkan kebenaran.
Diantara cara yang tidak baik dan tidak bijak dalam menjalankan kewajiban menasehati penguasa atau orang lain [2] ialah menyampaikan teguran atau kritikan dihadapan khalayak ramai.
Dan syari’at ingkar mungkar kepada penguasa yang digariskan pada ayat diatas lebih ditegaskan lagi oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pada sabdanya berikut ini:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara maka janganlah ia menyampaikannya secara terbuka (di hadapan umum -pen) akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan sang penguasa dan berdua-duaan dengannya (empat mata). Jika sang penguasa menerima (nasehat) darinya maka itulah (yang diharapkan -pen) dan jika tidak (menerima) maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya. (Riwayat Ahmad, At-Thobrooni dan Ibnu Abi ‘Ashim, dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Zhilaalul Jannah)
Pada hadits ini sangatlah jelas bagaimana metode yang diajarkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam menasehati penguasa. Oleh karena itu hadits ini dibawakan oleh Al-Hafizh Abu Bakr ‘Amr bin Abi ‘Ashim Adh-Dhohhak dalam kitabnya yang masyhur As-Sunnah dalam bab َكَيْف نَصِيْحَةُ الرَّعِيَّةِ لِلْوُلاَةِ (Bagaimana cara rakyat menasehati para penguasa?)
– Bagaimana Cara Rakyat Menasehati Penguasa?
Syaikh Utsaimin pernah ditanya, “Kenapa anda tidak menegur pemerintah dan menjelaskan hal itu kepada masyarakat? Maka beliau menjawab,….Aku beritahukan kepada engkau (wahai fulan) dan aku beritahukan kepada saudara-saudaraku bahwa sikap “Mempublikasikan sikap anda yang telah menyampaikan nasehat kepada pemerintah mengandung dua mafsadat/marabahaya:
Mafsadat pertama: Hendaknya setiap orang senantiasa mengkhawatirkan dirinya akan tertimpa riya’, sehingga gugurlah amalannya.
Mafsadat kedua: Bila pemerintah tidak menerima nasehat tersebut, maka teguran ini menjadi hujjah (alasan) bagi masyarakat awam untuk (menyudutkan) pemerintah. Akhirnya mereka akan bergejolak (terprovokasi) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar. (Dari kaset as’ilah haula lajnah al-huquq as-syar’iyah. Sebagaimana dinukil oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani dalam Madarik an-Nazhor hal 211).
– Seorang pengikut sunnah Nabi mestinya bergembira tatkala mengetahui bahwa metode dalam menasehati pemerintah ternyata telah dijelaskan dengan gamblang oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
– Seorang pengikut sunnah Nabi mestinya adalah orang yang semangat dalam menjalankan metode-metode yang diajarkan Nabi yang tidak berbicara kecuali dengan Wahyu dari Allah. Maka sungguh sangat menyedihkan jika kita mendapati seorang yang mengaku sebagai “Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah” kemudian malah mencari metode-metode lain yang tidak diajarkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
– Oleh karena itu sikap menghujat pemerintah baik di mimbar-mimbar atau di ceramah-ceramah atau melalui demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan di jalan-jalan [3] sangat bertentangan dan bertolak belakang dengan metode yang digariskan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits di atas.
– Pemberontak adalah mubtadi’
Banyak ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwasanya barangsiapa yang memberontak (keluar dari ketaatan) terhadap pemerintah yang dzolim maka ia adalah mubtadi’ yang telah menyimpang dan keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
– Imam Ahmad bin Hambal berkata: Setia mendengar dan taat kepada para penguasa dan pemimpin kaum muslimin baik yang sholeh maupun yang jahat….(Ushulus Sunnah hal 42 point no 15).
Kemudian beliau berkata, Barangsiapa yang memberontak kepada seorang pemimpin kaum muslimin padahal kaum muslimin telah bersatu di bawah kepemimpinan dan kekhalifahannya dengan cara apapun (ia berhasil mencapai kekhalifahan tersebut -pen) baik dengan diridhoi atau dengan kudeta, maka ia telah memecah tongkat persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar-atsar dari Rasulullah. Jika dia si khawarij (pemberontak) ini mati maka matinya mati jahiliyah. Dan tidak halal bagi seorang pun untuk memerangi penguasa dan tidak juga memberontak terhadapnya. Barangsiapa yang melakukannya maka ia mubtadi’ tidak di atas Sunnah dan jalan (yang lurus). (Ushulus Sunnah hal 45-47 point no 20 dan 21).
– Syaikh Al-Utsaimin juga berkata : ….pemberontakan dengan mengangkat senjata adalah cabang dari pemberontakan dengan lisan dan perkataan karena masyarakat tidak akan memberontak kepada penguasa (hanya dengan sekedar mengambil pedang-pen) pasti ada pembukaan dan pengantar (terlebih dahulu seperti) mencela penguasa, menutup-nutupi kebaikan mereka kemudian akhirnya hati masyarakat terpenuhi dengan kemarahan dan kedengkian dan kala itulah timbul bencana.
– Syaikh Sholeh Al-Fauzan pernah ditanya, “Apakah khuruj (memberontak) kepada penguasa hanyalah dengan mengangkat pedang saja ataukah termasuk juga memberontak dapat berwujud dalam pencelaan terhadap pemerintah dan memprovokasi masa untuk menentang pemerintah dan berdemonstrasi menentang pemerintah?”
Beliau menjawab: Kami telah menjelaskan hal ini kepada kalian, kami telah mengatakan bahwasanya memberontak kepada pemerintah bisa dengan mengangkat pedang dan membicarakan (kejelekan-kejelekan -pen) mereka di majelis-majelis dan di atas mimbar-mimbar. Perbuatan ini menyebabkan berkobarnya gejolak massa dan memprovokasi mereka untuk memberontak kepada pemerintah dan berkuranglah wibawa pemerintah di mata mereka. Maka perkataan adalah (termasuk) pemberontakan. (Dinukil dari Al-Fataawa Asy-Syar’iyyah Fil Qodhooyaa Al-‘Ashriyyah hal 107).
– Khawarij Juga Memberontak dengan Kata-Kata
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa diantara sekte-sekte Khawarij ada yang bernama sekte Al-Qo’adiyah. Mereka adalah Khawarij yang tidak ikut memberontak dan membangkang kepada pemerintah dengan mengangkat senjata atau dengan perlawanan dalam fisik. Akan tetapi mereka membangkang terhadap pemerintah dengan perkataan -perkataan mereka yang memprovokasi masa untuk memberontak kepada pemerintah.”
✅ Penutup bantahan/kritikan:
– Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu ‘anhu berkata:
فَاعْلَمْ أَنَّ الضَّلاَلَةَ حَقَّ الضَّلاَلَةِ أَنْ تَعْرِفَ مَا كُنْتَ تُنْكِرُ، وأَنْ تُنْكِرَ مَا كُنْتَ تَعْرِفُ، وإِيَّاكَ والتَّلَوُّن؛ فَإِنَّ دِيْنَ اللَّه وَاحِدٌ
Ketahuilah bahwa kesesatan yang sebenarnya adalah engkau menganggap baik apa yang dulu engkau ingkari dan engkau mengingkari apa yang dulu engkau anggap baik (alias mencla-mencle dalam aqidah dan manhaj). Hati-hatilah dari mencla-mencle karena agama Allah itu satu. (Al-Ibanah Al-Kubra 1/189 oleh Ibnu Baththah Al-Ukbari rahimahullahu)
– Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Ubailan hafizhahullahu berkata: (Di antara) ciri khas Ahlussunnah wal jamaah: Keteguhan mereka di atas kebenaran dan tidak mencla-mencle seperti kebiasaan ahlul ahwa’. Syaikhul Islam berkata: Secara umum keteguhan dan kekokohan yang ada pada ahlul hadits dan As-Sunnah itu berlipat-lipat ganda jika dibandingkan dengan ahlul Kalam dan filsafat (Majmu’ Fatawa 4/51). (An-Nubadz ala Syarhi As-Sunnah lil Barbahari hal. 45)
– Syaikh Walid bin Saif An-Nashr hafizhahullahu berkata: (Di antara) ciri khas ahlul Bid’ah: (poin 13) sering berubah serta mencla-mencle (dalam aqidah dan manhaj)
Dari Ibnu Sirin: Sesungguhnya beliau berpendapat orang yang paling cepat murtad adalah ahlul ahwa’. (Asy-Syari’ah hal. 515 oleh Al-Ajurri rahimahullahu)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata tentang Ahlul Bid’ah: Mereka tidak konsisten di atas agama yang satu, mereka dikuasai oleh keraguan dan ini adalah hukuman Allah atas orang yang berpaling dari Al-Quran dan As-Sunnah (Majmu’ Fatawa 4/157).
(Syarah Ushulussunnah (versi tebal 361 hal) hal. 60-61 oleh Syaikh Walid hafizhahullahu)
يا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِينِكَ
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agamamu.
—————————–
[1] Tapi Rasul tetap menyuruh taat kepada penguasa tersebut. Mana yang lebih benar sabda Rasulullah ﷺ ataukah pernyataan sang oknum DR?!.
[2] Jika kesalahan itu dari selain penguasa semisal dai dan telah menyebar di tengah masyarakat, maka boleh dibantah secara terbuka seperti yang dilakukan para ulama.
[3] Ataupun di medsos.