JANGAN “ESUK DHELE SORE TEMPE” ALIAS MENCLA-MENCLE & JANGAN GAGAL PAHAM!!!
Sang oknum DR. ingin membela kebatilannya (mencela penguasa dan mengingkari kemungkarannya secara terang-terangan di medsos) dengan membawakan ucapan Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullahu yang dia gagal paham tentangnya dan dia simpulkan sebagai berikut:
“So! Dengan jelas beliau membedakan antara nasehat dengan mengingkari kemungkaran, nasehat disampaikan secara tertutup, sedangkan mengingkari kemungkaran yang terjadi secara terbuka maka sepatutnya disampaikan secara terbuka pula agar sampai kepada masyarakat umum sebagaimana kemungkaran sampai kepada mereka semua.
Lo kok selama ini ada anggapan bahwa mengingkari harus tertutup juga?
Itu karena budaya gebyah uyah, anggapan bahwa tahu dan tempe sama saja, sehingga mereka tidak membedakan antara nasehat dengan praktek ingkarul mungkar.”
▶️ Maka jawaban atas syubhat DR diatas sebagai berikut:
1. Bukankah DR sendiri yang dulu menyamakan antara nasihat dan nahi munkar kepada penguasa dalam makalah “Antara Abduh dan Ba’abduh” di pembahasan “Metode Menasihati Penguasa”, dan berikut ini pernyataannya:
“Dan syariat *ingkar mungkar* kepada penguasa yang digariskan pada ayat di atas lebih ditegaskan lagi oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pada sabdanya berikut ini:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
Barangsiapa yang hendak *menasehati* penguasa dengan suatu perkara maka janganlah ia menyampaikannya secara terbuka (di hadapan umum -pen) akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan sang penguasa dan berdua-duaan dengannya (empat mata). Jika sang penguasa menerima (nasehat) darinya maka itulah (yang diharapkan -pen) dan jika tidak (menerima) maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya. (Riwayat Ahmad, At-Thobrooni dan Ibnu Abi ‘Ashim, dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Zhilaalul Jannah)
Pada hadits ini sangatlah jelas bagaimana metode yang diajarkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam *menasehati* penguasa. Oleh karena itu hadits ini dibawakan oleh Al-Hafizh Abu Bakr ‘Amr bin Abi ‘Ashim Adh-Dhohhak dalam kitabnya yang masyhur As-Sunnah dalam bab َكَيْف نَصِيْحَةُ الرَّعِيَّةِ لِلْوُلاَةِ (Bagaimana cara rakyat menasehati para penguasa?)”
– Bukankah DR ketika menjelaskan ucapan Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma dalam menasihati penguasa “Sesungguhnya aku telah menasihatinya secara diam-diam tanpa aku membuka sebuah pintu yang semoga aku bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut” membawakan ucapan Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan mengatakan: Beliau (Ibnu Hajar) juga menjelaskan perkataan Usamah “tanpa aku membuka sebuah pintu” dengan berkata: Yaitu pintu *mengingkari* para penguasa dengan cara terang-terangan (di hadapan khalayak) karena aku mengkhawatirkan persatuan kaum muslimin akan tercerai-berai. (Fathul Bari 13/52)
– Jadi bukankah DR sendiri (sesuai pernyataannya di atas) yang tidak bisa membedakan antara tahu dan tempe?!
– Ataukah memang DR seperti kata peribahasa Jawa “Esuk dhele sore tempe” (pagi kedelai sore tempe) alias mencla-mencle?! Dan bukankah mencla-mencle (dalam masalah aqidah & manhaj) itu merupakan kesesatan yang nyata seperti yang dikatakan oleh sahabat Rasulullah ﷺ yang bernama Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu ‘anhu?! (Lihat Makalah “Beda Aqidah antara DR dan MA”)
– Kenapa DR tidak kembali kepada “Prinsip Ahlussunnah Dalam Menyikapi Penguasa” seperti yang dia susun/tulis dulu (di antaranya menasihati penguasa atau mengingkarinya harus dengan cara rahasia dan tidak membedakan antara keduanya)?!
2. Adapun pernyataan Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr hafizhahullahu yang DR nukil dan pahami seperti di atas [beda antara menasihati penguasa yang harus dengan tertutup (sembunyi-sembunyi) dan mengingkari kemungkarannya yang terbuka tidak harus dengan tertutup].
Maka berikut ini bantahannya:
– Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullahu sendiri membantah statement DR di atas ketika beliau mensyarah hadits riwayat Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
سَتَكُوْنُ عَلَيْكُمْ أَئِمَّةٌ تَعْرِفُوْنَ مِنْهُمْ وتُنْكِرُوْنَ، فَمَنْ أَنْكَرَ -قَالَ أَبُو دَاوُد : قَالَ هِشَام : بِلِسَانِه- فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ كَرِهَ بِقَلْبِه فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ…..”.
Sesungguhnya kalian akan dipimpin oleh para penguasa, kalian mengenal (kebaikan mereka) dan mengingkari (kemungkaran mereka). Barangsiapa yang mengingkari -Abu Daud berkata: Hisyam (perawi hadits ini) berkata: yaitu (mengingkari) dengan lisannya, maka dia selamat dan barangsiapa yang membenci dengan hatinya, maka dia terbebas (dari dosa). Akan tetapi (yang berdosa) yang meridhai dan mengikuti….. (HR. Abu Daud)
Syaikh Abdul Muhsin berkata: Mengingkari dengan lisan, yaitu dengan metode yang disyariatkan, dengan cara yang bisa mendatangkan kemaslahatan dan bukan dengan cara yang bisa memadharatkan seperti (mengingkari) di atas mimbar-mimbar (ceramah/pengajian), memviralkan, menyebutkannya di khalayak ramai yang akan menimbulkan provokasi terhadap orang-orang awam, menyebabkan terjadinya banyak fitnah. Dan ini bukan cara (syar’i) dalam menasihati (penguasa) dan ini tidaklah benar….. Mengingkari dengan lisan, yaitu dengan menasihatinya secara rahasia, yaitu empat mata jika memungkinkan, atau dengan menulis surat kepadanya, atau dengan meminta tolong kepada orang yang bisa langsung komunikasi dengannya untuk menasihatinya seperti dalam riwayat Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma. (Sumber: https://youtu.be/TvvGY9m-d5w?si=Do10nw89-nlMiNU_).
– Syaikh Abdul Malik Ramadhani (murid spesial Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad) dan Syaikh Abdul Aziz Ar-Rayyis Hafizhahumullahu ketika ditanya oleh penulis (via WA) tentang kesimpulan DR. tersebut, maka mereka mengatakan: Itu tidak benar.
– Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullahu pernah ditanya: Apakah Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullahu berpendapat bolehnya mengingkari waliyul amri/penguasa secara terang-terangan? Maka beliau menjawab: Tidak benar (pernyataan itu), Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullahu berpendapat bahwa yang namanya waliyul amri adalah penguasa negeri (Raja/Presiden) dan bahwasanya yang di bawah mereka bukan termasuk hukkam (para penguasa) akan tetapi mereka adalah ummal/pegawai, maka beliau berpendapat boleh mengkritik mereka (bawahan presiden/bawahan raja). Adapun penguasa (presiden/raja), maka beliau tidak membolehkan untuk mengingkarinya (secara terbuka) kecuali langsung di hadapannya dan yang mengingkari punya kewibawaan/kedudukan (di mata penguasa) serta aman dari fitnah. Dan inilah yang aku dengar dari Syaikh. (Sumber: https://youtu.be/8ZhLFc6X4V8?si=vHkqILr9JTiEbCJi)
– Dan dari ucapan Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullahu di atas kita bisa memahami ucapan Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullahu yang dinukil oleh DR, yaitu “Bila nampak berbagai kejadian mungkar dari para pejabat di negara atau dari selain mereka, baik hal itu dimuat di media massa atau lainnya, maka wajib mengingkari kemungkaran itu secara terbuka sebagaimana kemungkaran itu dilakukan secara terbuka”.
Maksud “pejabat” disitu bukanlah penguasa (presiden atau raja) sebagaimana yang dipahami DR.
Awas jangan gagal paham!!! Awas jangan asal comot tanpa diteliti lebih mendalam lagi!!!
– Meskipun yang lebih benar bahwa menteri (bawahan presiden) juga tidak boleh dikritik secara terbuka sebagaimana yang dikatakan juga oleh Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullahu. (Sumber: https://youtu.be/bUQ5GsOtHzM?si=GqvaqRbp5AAw9VS5)
Dan ini pula yang dijelaskan oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahu. (Sumber: https://youtu.be/g7pz3RBFYTo?si=3Re_vb70OOYZVfa2)
– Kenapa DR meninggalkan hadits Rasulullah ﷺ dan ucapan yang banyak sekali dari ulama ahlussunnah sejak dahulu hingga sekarang yang melarang mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan dan sekaligus tidak membedakannya dengan metode dalam menasihatinya?! Di antaranya Hadits Ummu Salamah di atas, atsar Ibnu Abbas, Usamah, Ibnu Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhum, ucapan Al-Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, Syaikh Sa’ad bin Atiq, Syaikh Abdul Aziz Bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili, Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili, Syaikh Abdul Malik Ramadhani, Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi, Syaikh Abdul Aziz Ar-Rayyis, Syaikh Abdussalam Barjas dll -semoga Allah merahmati yang sudah meninggal dunia dari mereka dan menjaga yang masih hidup-. (Insya Allah akan menyusul ucapan para ulama tersebut di edisi yang akan datang)
– Untuk para pembaca yang budiman, Rasulullah ﷺ bersabda:
إذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ما تَشَابَهَ مِنْه، فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ.
Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti yang mutasyabihat (samar-samar), maka mereka adalah orang-orang yang Allah sebut (di dalam hatinya ada penyakit), maka berhati-hatilah terhadap mereka. (HR. Muslim)
– Untuk saudara DR, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa mengajak (manusia) pada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun. (HR. Muslim)