ISLAM TELAH MENJELASKAN TENTANG KEPEMIMPINAN
Islam Telah Menjelaskan Tentang Kepemimpinan[1]
Sebagai seorang muslim apalagi yang mengaku salafi atau da’i salafi harus yakin bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Segala hal yang bisa mendatangkan kemashlahatan atau mencegah dari kemadharatan sudah dijelaskan oleh Islam baik secara tersurat maupun tersirat. Jangankan masalah negara dan kepemimpinan yang menyangkut masyarakat banyak, masalah buang hajat saja Islam telah menjelaskan adab-adabnya dengan gamblang. Allah ta’ala berfirman :
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَـٰمَ دِينً۬اۚ
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah : 3)
Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata : Ini adalah nikmat Allah terbesar atas umat ini. Yaitu Allah sempurnakan bagi mereka agama mereka. Sehingga mereka tidak butuh kepada agama selain agama-Nya dan tidak butuh kepada nabi selain nabi mereka. Semoga shalawat dan salam tercurah atas beliau. Oleh karena itulah, Allah menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan mengutusnya kepada manusia dan jin. Maka tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau halalkan dan tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau haramkan serta tidak ada ajaran agama (Islam) melainkan apa yang beliau syariatkan.[2]
Allah juga berfirman :
وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ تِبۡيَـٰنً۬ا لِّكُلِّ شَىۡءٍ۬ وَهُدً۬ى وَرَحۡمَةً۬ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ
Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl : 89)
Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggalkan kita dan tidaklah seekor burung terbang dengan kedua sayapnya di udara melainkan beliau menyebutkan kepada kami ilmunya. Dan beliau pernah bersabda :
ما بقي شئ يقرب من الجنة ويباعد من النار إلا وقد بين لكم
Tidak ada sesuatu yang bisa mendekatkan ke dalam surga dan menjauhkan dari api neraka melainkan telah dijelaskan kepada kalian. (HSR. Ath-Thabrani)
Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu pernah didatangi oleh orang-orang musyrikin yang berkata kepada beliau : Sungguh nabi kalian mengajarkan segala sesuatu sampai masalah buang hajat. Maka beliau menjawab : Ya benar. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk menghadap kiblat ketika buang air besar atau buang air kecil…(HR. Muslim)
Namun sangat disayangkan masih ada sebagian kaum muslimin yang tidak memahami atau meyakini akan hal ini. Dan yang lebih parah lagi, jika seorang ustadz yang mengaku ahlussunnah mengatakan :
*Ajaran Islam tidak pernah memastikan dan menjelaskan dalam dalil yang qoth’i dan shorih berupa ayat Al-Qur’an, hadits yang shohih dan ijma’ para ulama yang menetapkan model pengelolaan kekuasaan dan cara memilih penguasa secara tertentu yang dibenarkan sehingga yang lainnya bisa dianggap salah dan haram.* Na’udzu billah.
– Sadarkah sang ustadz akan bahaya apa yang diucapkannya ini?
– Sudahkan sang ustadz merenungkan kembali apa yang dinyatakannya ini?
– Apakah sang ustadz tidak memahami bahwa (minimal) ada talbis/pengkaburan tentang kesempurnaan Islam dalam ucapannya ini?
– Apakah setiap masalah agama harus dalilnya sharih (jelas/tersurat) di dalam Al-Qur’an, hadits dan ijma’? Apakah tidak boleh secara tersirat?
***Untuk membantah ucapan ustadz diatas, maka kita nukilkan ucapan Syaikh DR. Abdussalam bin Barjas Abdul Karim rahimahullahu ketika menjelaskan tentang “Maqashidul Imamah” (tujuan-tujuan kepemimpinan/kekuasaan dalam suatu negara) setelah membawakan ayat 89 dari surat An-Nahl : Barangsiapa yang menyangka bahwa agama yang mulia ini tidak menjelaskan sebagian dari apa yang dibutuhkan oleh manusia dalam urusan agama dan dalam kepemimpinan manusia, maka sungguh dia telah mengingkari kabar berita dari Allah. Maka sungguh dia merugi dan sengsara dengan kerugian yang nyata. Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata : “Tidak ada kepemimpinan kecuali yang sesuai dengan syariat”. Dan ungkapan Imam Asy-Syafi’i ini jelas menerangkan bahwa kepemimpinan yang adil yang dipuji orangnya adalah yang sesuai dengan syariat Allah. Yaitu apa yang ada dalam Al-Qur’an yang dibaca atau sunnah yang diikuti, atau ijma’ atau qiyas yang diperhitungkan dalam syariat yang suci. Dan inilah yang haq, karena di dalam keempat dalil tersebut (Al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas) terdapat penjelasan hukum-hukum bagi perkara yang sudah berlangsung dan yang akan muncul (kontemporer) disetiap zaman. Dan ini sebagai bukti bahwa Islam itu cocok bagi setiap waktu dan tempat hingga hari kiamat.[3]
Kemudian beliau membawakan ucapan Imam Ibnu Qayyim rahimahullahu yang juga membantah ucapan ustadz diatas : Kepemimpinan ada dua macam : Kepemimpinan yang adil yang merupakan bagian dari syariat bukan keseluruhan syariat. Dan kepemimpinan yang batil yang menyelisihi syariat itu seperti kedzaliman yang merupakan lawan keadilan….Inilah pembeda antara para pewaris nabi dan selain mereka. Dan sumbernya dibangun diatas satu kata yaitu keumuman ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam sunnah beliau yang mencakup semua apa yang dibutuhkan oleh para hamba dalam ilmu dan pengetahuan mereka. Dan dengannya mereka bisa meraih kebaikan dalam urusan dunia dan akhirat. Kita tidak butuh kepada ajaran selain beliau, namun kita hanya butuh orang yang menyampaikan kepada kita apa yang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Barangsiapa yang tidak memahami hal ini dalam hatinya maka tidaklah kokoh keimanannya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam….(Badaai’ al- fawaaid 3/155-156)[4]
***Adapun tentang cara pemilihan penguasa/pemimpin, maka Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata : Kesimpulannya, kaum muslimin telah berijma’ bahwa seorang khalifah jika akan meninggal dunia maka boleh dia mengangkat pemimpin setelahnya atau tidak mengangkatnya. Jika dia tidak mengangkatnya maka dia telah mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini. Namun jika dia telah mengangkat pemimpin setelahnya maka dia telah mengikuti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Dan mereka telah berijma’ akan sahnya kepemimpinan dengan diangkat langsung oleh pemimpin sebelumnya dan dengan diangkat oleh musyawarah ahlu halli wal aqdi (ulama) jika memang pemimpin sebelumnya tidak mengangkatnya. Dan mereka berijma’ akan bolehnya seorang pemimpin membuat tim musyawarah (untuk mengangkat pemimpin) seperti yang dilakukan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu ketika mengangkat enam sahabat (dalam memilih Utsman radhiyallahu sebagai khalifah sepeninggal beliau).[5]
Ya ustadz, inilah ijma’ ulama tentang cara memilih penguasa yang syar’i :
1. Diangkat langsung oleh pemimpin sebelumnya.
2. Diangkat oleh para ahlu halli wal aqdi.
Hal ini juga dikatakan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu : Di dalamnya (hadits) ada dalil sahnya kepemimpinan dengan dua cara :
1. Diangkat oleh pemimpin (sebelumnya) seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.
2. Dan kesepakatan ahlu halli wal aqdi seperti yang dilakukan oleh para sahabat setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan ini adalah ijma’ kaum muslimin.[6]
*** Kalau ustadz ada waktu silahkan membaca buku-buku yang agak ringan tentang hal ini, karena mungkin ustadz sibuk dengan organisasi atau rapat, muktamar ini dan itu :
1. Masaail Fii Al-Wilayah Al-Kubra oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani (hanya 48 halaman)[7].
2. Al-Ihkam fii sabri ahwal al-hukkam oleh Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily (hanya 64 halaman)[8].
3. Aqidah ahli al-islam fiima yajibu li al-imam oleh Syaikh Abdussalam Barjas (hanya 68 halaman)[9].
*** Yang aneh dan ajaib, sang ustadz menyebutkan -dalam rangka membantah orang yang ingin beliau bantah- tentang cara pemilihan khalifah Abu Bakar radhiyallahu yaitu dengan ditunjuk dan cara pemilihan Umar radhiyallahu ‘anhu yang berlainan dengan cara pemilihan Abu Bakar. Namun sang ustadz tidak paham bahwa dari situlah muncul ijma’ ulama tentang cara pemilihan pemimpin kaum muslimin yang syar’i. Dan selain itu adalah salah dan keliru. Tidakkah ustadz ingat sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
Pegang erat sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin yang mendapatkan petunjuk. (HSR. Abu Daud)
اقتدوا باللذين من بعدي أبي بكر وعمر
Ikutilah dua orang setelahku yaitu Abu Bakar dan Umar. (HSR. Imam Ahmad)
Lebih parah dari itu,
*Sang Ustadz berkata : Perbedaan cara pemilihan para khulafaaur rasyidin menunjukkan bahwa mereka berijtihad dalam menentukan cara-cara tersebut, sehingga terpahami bahwa masalah ini bukan perkara “ushul” yang serta merta menutup pintu ijtihad dan perbedaan pendapat.
*** Ucapan sang ustadz ini mengingatkan kita kepada ucapan sebagian ahli bid’ah[10] yang berdalil dengan ijtihad para sahabat –namun telah mendapatkan pembenaran dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti kisah sahabat yang menggunakan surat Al-Fatihah sebagai ruqyah atau sahabat yang sering mengulang-ngulang membaca surat Al-Ikhlas dalam shalatnya, atau tentang ijtihad Khalifah Utsman mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf- untuk melegalkan kebid’ahan mereka. Yang intinya “kalau para sahabat boleh berijtihad maka kenapa kita tidak boleh”?
– Tolong ustadz sebutkan ijtihad para ulama ahlussunnah wal jama’ah tentang cara pemilihan pemimpin kaum muslimin yang syar’i selain dua cara yang telah disepakati oleh para ulama, sebagaimana yang dikatakan oleh imam Al-Qadhi ‘Iyadh dan Imam An-Nawawi.
– Dalam kitab-kitab aqidah banyak para ulama yang menyebutkan masalah-masalah yang secara asal itu adalah masalah furu’ (seperti masalah mengusap khuf[11]) untuk membantah ahli bid’ah karena pengingkaran mereka dalam masalah furu’ tersebut. Jadi bukan berarti semua masalah furu’ terus asal berijtihad dan kita menghormati pendapat tersebut tanpa kita tegasi dan ingkari.
– Tidakkah kita ingat ucapan Imam Ahmad rahimahullahu : Jangan engkau berbicara tentang suatu permasalahan (agama) yang engkau tidak memiliki imam dalam masalah tersebut.[12]
Imam Al-Barbahari rahimahullahu juga berkata : Perhatikanlah –semoga Allah merahmatimu- setiap orang yang engkau dengar ucapannya dari orang yang ada di zamanmu. Jangan engkau tergesa-gesa (untuk menerimanya) dan jangan tenggelam di dalamnya, hingga engkau bertanya dan meneliti : Apakah ada sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang ulama yang mengatakannya ?[13] Jika engkau mendapati di dalamnya suatu atsar dari mereka maka berpeganglah dengannya dan jangan sampai melampauinya dan engkau memilih selainnya maka engkau bisa masuk neraka.[14]
*Sang ustadz berkata : Dalam hal “Demokrasi” pun terbuka pintu ijtihad bagi para ulama Mujtahidin di zaman ini dalam menentukan sikap yang tepat dan paling mendekati manhaj yang benar, sehingga kewajiban kita sebagai penuntut ilmu adalah berlapang dada dalam menghormati perbedaan pendapat dikalangan para ulama mujtahidin.
***Aneh tapi nyata, beberapa tahun yang lalu ustadz juga pernah menulis tentang demokrasi dengan berbagai kerancuannya dan sudah pernah kami jawab, tapi hidayah taufiq hanya ditangan Allah. Dan ustadz sekarang mengulangi lagi kesalahan yang sangat berbahaya ini, maka perlu untuk diingatkan kembali.
– Apa yang ustadz maksud dengan kata-kata demokrasi disini?
– Sudahkah ustadz memahami apa makna demokrasi itu?
– Pahamkah ustadz apa sebenarnya demokrasi itu?
– Coba ustadz sebutkan satu ulama ahlussunnah wal jama’ah yang berijtihad membolehkan demokrasi?
***Untuk lebih jelasnya kita akan nukilkan ucapan Syaikh Muhammad Aman Al-Jaami rahimahullahu (salah satu ulama ahlussunnah di kota Madinah) dalam kitabnya “Haqiqah Ad-Dimoqrathiyah wa annaha laisat minal islam[15]” (Hakikat demokrasi dan bahwasanya dia bukan bagian dari Islam) :
Demokrasi adalah kata-kata asing yang berasal dari Yunani dan maknanya adalah hukum/kekuasaan ada ditangan rakyat. Yaitu rakyat berhukum dengan dirinya sendiri. Demokrasi memiliki pondasi yang harus ada, agar suatu kekuasaan itu berdasarkan demokrasi. Diantaranya yang paling penting adalah:
1. Kekuasaan ditangan rakyat
2. Kebebasan dan hak asasi manusia itu dijamin oleh undang-undang. Setiap individu hidup dibawah naungan kekuasaan ini
Barangsiapa yang tahu gambaran “kekuasaan itu ditangan rakyat dan dia mengetahui tiga bentuk kekuasaan tersebut (kekuasaan membuat syariat/undang-undang, kekuasaan memutuskan hukum dan kekuasaan melaksanakan hukum) maka dia tidak ragu lagi bahwa sistem demokrasi itu adalah sistem ilhadi (kufur) jahiliyah[16].[17]
Beliau juga berkata : Beriman dengan sekulerisme dan demokrasi dan selain dari keduanya dari hasil pemikiran orang-orang kafir kontemporer itu bertentangan dengan keimanan kepada Allah. Tidak akan mungkin bersatu dalam hati seorang muslim, bahkan yang satu akan mengusir yang lain, karena keduanya saling bertentangan.[18]
Penulis ingin menutup tulisan ini dengan kata-kata sang ustadz : Pada zaman ini sebagai akhir zaman –sesuai apa yang disinyalir oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam – kita begitu banyaknya menghadapi perkara-perkara yang terkesan baru, yang berikutnya menjadi fitnah yang berpotensi memecah-belah persatuan dan kesatuan di kalangan Ahlussunnah wal jamaah. Diantara perkara fitnah tersebut yang paling menonjol dan sangat berpotensi bisa mengakibatkan perpecahan adalah masalah “demokrasi” dan “organisasi” [19].
———————————————–
[1] Dalam rangka meluruskan pernyataan Ustadz Yusuf Utsman Ba’isa –hadahullahu- dalam tulisannya yang berjudul Ashobiyah hizbiyah & perpecahan.
[2] Tafsir Ibni Katsir 2/19
[3] Mu’amalatu al-hukkam fii dha’u al-kitab wa as-sunnah hal 69-70.
[4] Idem hal.70
[5] Syarh Muslim 12/205
[6] Ikmal Mu’lim 6/113.
[7] Di bab pertama hal.3 syaikh Abdul Malik Ramadhani menyebutkan bab “Faidah-faidah dari dua ayat kepemimpinan dari surat An-Nisa’ yaitu ayat 58-59 “.
[8] Di muqaddimah kedua hal.13 Syaikh Ibrahim membuat judul “Penyebutan masalah-masalah syar’iyyah tentang kekuasaan yang diambil dari dalil-dalil (Al-Qur’an dan hadits) dan apa yang telah dinyatakan oleh para imam”.
[9] Di bab pertama hal.5-7 syaikh Abdussalam menyebutkan gelar penguasa berdasarkan dalil (hadits) : imam, amirul mukminin, raja, khalifah.
[10] Yang mirip dengan hal ini juga adalah hujjah sebagian orang yang membolehkan bersatu dengan ahli bid’ah dengan gotong-royong/kerja bakti kampung. Ini mirip dengan hujjah ahli bid’ah yang main akal semata dan asbun saja -tanpa bimbingan dalil al-qur’an dan as-sunnah atau ucapan para ulama-. Mereka mengatakan sedikit-sedikit bid’ah, apakah berangkat umrah/haji naik pesawat itu bid’ah?.
[11] Lihat kitab syarah Aqidah Ath-Thahawiyah hal.379-381 oleh Imam Ibnu Abi Al-‘Izzi dengan tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Kitab syarhu As-Sunnah oleh Imam Al-Barbahari poin 41 hal.72 dengan tahqiq Khalid Ar-Radadi.
[12] Lihat kitab i’lam al-muwaqqi’in 4/222 oleh Ibnu Al-Qayyim.
[13] Sungguh ini adalah nasehat yang berharga bagi kita semua agar kita tidak membuat sensasi dalam dakwah. Demikian pula ketika kita menulis masalah agama/ilmiyah di medsos atau yang lainnya hendaknya diikat dengan dalil dan juga ucapan para sahabat atau para ulama atau rujukan yang bisa dipertanggung jawabkan. Jangan menulis hanya berdasarkan lintasan pikiran, rekayasa akal, khayalan atau bahkan ramalan. Jangan asbun (asal bunyi) atau askom (asal komentar) tanpa bukti ilmiyah.
[14] Syarhu As-Sunnah poin 8 hal.61.
[15] Kalau ustadz sempat mungkin bisa baca buku tersebut yang hanya 64 halaman agar benar-benar paham apa itu demokrasi sehingga tidak mengkaburkan makna/hakikatnya di hadapan umum.
[16] Ini hukum perbuatannya bukan menghukumi orang perorangnya.
[17] Hal.13-14
[18] Hal.19.
[19] Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya : Orang yang berbahagia adalah yang dijauhkan dari fitnah. (HSR. Abu Daud) Tapi kenapa ustadz asyik dengan keduannya? Sungguh ini suatu kontradiksi yang nyata. Seorang penyair arab pernah berkata :
إن كنت لا تدري فتلك مصيبة وإن كنت تدري فالمصيبة أعظم
Jika engkau tidak tahu maka itu adalah musibah dan jika engkau tahu maka musibahnya lebih dahsyat
Wallahu al-musta’aan. Meski penulis tidak termasuk yang mengharamkan organisasi secara mutlak.