DIALOG ILMIYAH BERSAMA SYAIKH BIN BAZ TENTANG BERHUKUM DENGAN SELAIN HUKUM ALLAH (Edisi 2)
بسم الله الرحمن الرحيم
– Berkata Syaikh Ibnu Jibrin: “Di dalam tafsir, dari Ibnu Abbas tentang firman-Nya:
وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡكَـٰفِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah : 44) : ‘Kufrun duuna kufrin’ (kufur kecil).”[1]
– Berkata Syaikh Bin Baz: “Apabila dia tidak menghalalkannya, maksudnya jika dia disuap atau (berlaku curang) terhadap lawannya dan (untuk membela) kawannya, maka ini hanya kufrun duuna kufrin. Adapun jika dia menghalalkan untuk berhukum (dengan hal tersebut), atau menghalalkan untuk meninggalkan syariat maka dia kafir. Apabila dia menghalalkannya maka dia kafir. Akan tetapi, jika dia disuap maka ini tidak sampai kufur besar, tapi hanya kufrun duuna kufrin, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid dan selain keduanya.”
– Peserta berkata: “Problem terbesar sekarang –semoga Allah mengampuni anda- adalah masalah mengganti hukum-hukum syariat dengan undang-undang buatan…”
– Syaikh menjawab: “Inilah yang sekarang kita perbincangkan, jika dia melakukannya dalam keadaan menghalalkan.”
– Peserta berkata: “Mungkin saja dia mengaku tidak menghalalkannya?”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Apabila dia menghalalkannya maka dia kafir, namun apabila dia melakukannya karena takwil untuk mencari kedudukan di tengah kaumnya atau karena sebab yang lain maka ini kufrun duuna kufrin. Akan tetapi, wajib bagi kaum muslimin untuk memeranginya jika mereka memiliki kekuatan hingga dia beriltizam[2] (meyakini kewajiban berhukum dengan hukum Allah). Barangsiapa yang merubah agama Allah seperti zakat dan selainnya, maka dia diperangi hingga beriltizam.”
– Peserta bertanya: “Dia merubah al-Hudud, merubah hukuman bagi pezina, dan yang lainnya !”
– Syaikh Bin Baz menjawab : “Maksudnya dia tidak mendirikan hudud, namun menta’zirnya, sebagai ganti dibunuh, dia dita’zir!”
– Syaikh Ibnu Jibrin berkata: “Atau dipenjarakan ?!”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Atau dipenjarakan.”
– Peserta berkata: “–Semoga Allah mengampuni anda-, dia membuat undang-undang sendiri[3]!”
– Syaikh Bin Baz menjawab: Secara asal dia tidak kafir, hingga dia menghalalkan, tapi dia telah berbuat maksiat dan dosa besar yang berhak mendapatkan sangsi. Itu adalah kufrun duuna kufrin sampai dia menghalalkannya.
– Peserta bertanya: “Hingga dia menghalalkannya? Penghalalan itu di dalam hati, kita tidak bisa mengetahuinya!”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Itu intinya, apabila dia telah mengakuinya, apabila dia telah mengaku bahwa dia menghalalkannya.”
– Syaikh Ibnu Jibrin berkata: “Apabila dia menghalalkan zina, dengan keridhaan kedua belah pihak?”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Demikian juga ini adalah kufur.”
– Syaikh Ibnu Jibrin berkata: “Seorang wanita dia bebas, dia memberikan dirinya”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Apabila mereka menghalalkan[4] yang demikian dengan ridha maka ini adalah kufur.”
– Berkata Salman al-Audah: “Seandainya dia berhukum dengan syariat yang telah dihapus, seperti agama Yahudi dan mewajibkannya kepada manusia serta menjadikannya sebagai undang-undang resmi, memberi sanksi bagi yang menolaknya dengan dipenjara, dibunuh, diasingkan dan yang semisal dengannya?!”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Apakah dia menisbatkannya kepada syariat atau tidak?”
– Salman al-Audah berkata: “Dia berhukum dengannya tanpa mengatakan yang demikian itu dan dia menjadikannya sebagai pengganti (hukum Allah).”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Adapun jika dia menisbatkannya kepada syariat maka ini kufur.”
– Salman berkata: “Kufur besar atau kecil?”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Kufur besar, apabila dia menisbatkannya kepada syariat. Adapun apabila dia tidak menisbatkannya kepada syariat[5], namun hanya sekedar undang-undang yang dibuatnya, maka tidak kufur. Seperti orang yang mencambuk manusia tanpa hukum syariat, dia mencambuk, membunuh manusia atau sebagian dari mereka karena hawa nafsunya.”
– Salman berkata: “Tidakkah dibedakan –semoga Allah menjaga anda- antara kejadian tertentu dengan dia menjadikannya sebagai undang-undang resmi untuk semua orang?!”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Adapun kalau dia menisbatkannya kepada syariat, maka dia kafir. Namun jika tidak menisbatkan kepada syariat dan dia menganggapnya dapat memperbaiki di antara manusia, padahal itu tidak syar’i, dan bukan dari Allah dan Rasul-Nya, maka ini adalah suatu kejahatan, tapi tidak sampai kepada kufur akbar –ini yang aku yakini-.”
– Salman berkata: “Fadhilatusy Syaikh, Ibnu Katsir menukilkan ijma’ akan kekafirannya (Kufur besar) dalam al-Bidayah wan Nihayah[6].”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Mungkin karena dia menisbatkannya kepada syariat”
– Salman berkata: “Tidak, beliau mengatakan: Barangsiapa yang berhukum dengan selain syariat Allah dari syariat-syariat yang sudah dihapus, maka dia kafir[7]. Maka bagaimana kalau dia berhukum dengan selain itu dari pemikiran manusia?! Tidak diragukan lagi bahwa dia telah murtad….”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Kalaupun (nukilanmu) itu benar, namun Ibnu Katsir tidaklah maksum (suci dari kesalahan), dan ucapan beliau membutuhkan renungan kembali, mungkin saja dia salah seperti yang lainnya. Betapa banyak orang yang menceritakan adanya ijma’!”
BERSAMBUNG..
———————————————————–
[1] Berkata guru kami Samahatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dalam komentarnya terhadap ucapan guru kami Syaikh al-Albani rahimahullahu dalam “Fitnatut Takfir” (hal 82- kitabku at-Tahdzir) : “Cukup bagi kami bahwa para pembesar ulama semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim serta selain mereka rahimahumullahu, semuanya sepakat untuk menerima atsar Ibnu Abbas, dan mereka membahas serta menukilnya, jadi atsar ini shahih”.
Saya katakan: Atsar ini memiliki banyak jalan, dan beberapa redaksi serta jalan periwayatan. Orang yang adil akan menetapkan keshahihannya dengan sedikit jalannya saja, akan tetapi mereka telah berbuat kedzaliman yang besar. Lihat “al-Asilah al-Qathariyah” hal 63-64, dan tulisanku “al-Qaulul Ma’mun…” serta buku karangan saudara kami Syaikh Salim al-Hilali “Qurratul ‘uyun…”, maka cukuplah kedua kitab itu –insya Allah-.
[2] Al-Iltizam adalah mengikrarkan, mengakui dan tunduk patuh kepadanya, meskipun tidak dijalankan atau dipraktekkan. Kebanyakan orang salah dalam memahami (istilah iltizam ini), mereka mengira bahwa al-Iltizam itu maknanya adalah mengamalkan dan menjalankan. Padahal ini tidaklah demikian, selama dia masih meyakini akan kewajibannya secara syariat. Diantara penggunaannya yang benar adalah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmu’ Fatawa” 20/97-98, ketika beliau menyebutkan tentang perselisihan ulama tentang hukum orang yang meninggalkan shalat, beliau berkata: “Yang dipermasalahkan adalah orang yang masih mengikrarkan dan iltizam/meyakini akan kewajibannya sedangkan dia tidak menjalankannya”. Diantaranya pula ucapan Syaikh al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam “Taisiir al-Kariimir Rahman” 2/93-94 tentang masalah berhukum (dengan selain hukum Allah): Barangsiapa yang meninggalkan hukum Allah dalam keadaan tidak beriltizam kepadanya, maka dia kafir. Dan barangsiapa yang meninggalkan berhukum dengannya, namun dia masih beriltizam (meyakini akan kewajiban berhukum dengannya), maka hukumnya seperti para pelaku maksiat lainnya”. Sebagai tambahan lihat pula “ash-Sharim al-Maslul” 3/967 dan “Minhajus sunnah” 5/131, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
[3] Yaitu undang-undang buatan, dia yang membuat dan menghukumi manusia dengannya –wal ‘iyadzu billah-.
[4] Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullahu dalam fatawa beliau 6/189 pernah ditanya: Apabila penduduk sebuah negeri menyetujui adanya pelacuran, apakah dinamakan itu negara kafir atau tidak? Beliau menjawab: Ini tidaklah kufur, kecuali kalau dia menghalalkannya. Dan ini adalah maksiat yang besar, yang wajib untuk hijrah ke tempat lain dan wajib untuk memerangi mereka hingga berhenti”.
[5] Renungkan perincian Samahatusy Syaikh rahimahullahu tentang kaidah takfir dan sikap tegas beliau dalam hal ini.
[6] 13/117, padahal ucapan Ibnu Katsir rahimahullahu bukan seperti yang dia katakan, seperti yang akan disebutkan nanti.
[7] Ucapan Imam Ibnu Katsir rahimahullahu masih bersambung dengan apa yang setelahnya: “Dan dia lebih mengutamakannya dari pada hukum syariat! Dan hal ini tidak bisa diketahui hakikatnya dengan yakin melainkan dengan adanya istihlal/penghalalan atau dia meyakini persamaan antara hukum syariat dengan selainnya atau yang serupa dengannya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Samahatusy Syaikh Bin Baz, maka renungkanlah. Dan saya telah menjelaskan maksud ucapan Ibnu Katsir ini dalam kitabku “Shaihatu Nadzir bikhathari at-takfir” hal. 71-76 cet.1417 H. Alhamdulillah.