SEKILAS FAIDAH MANHAJ DAN AQIDAH DARI DAURAH SYAR’IYYAH BATU (Edisi 1)
Ringkasan Faidah Ilmiyyah Tentang Aqidah Dari Daurah Syar’iyyah[1]
Bersama Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Abdul Aziz Sindi hafidzahullahu (edisi 1)
(Hari Selasa tanggal 20 Syawwal 1439 H atau 3 Juli 2018 M)
1. Mempelajari tauhid asma’ dan sifat merupakan bentuk perwujudan iman kepada Allah.
2. Kelompok ahli kalam[2] sangat amat gencar menyebarkan kesesatan mereka lewat media yang mereka miliki di zaman ini. Maka ahlussunnah harus bangkit untuk membantahnya.
3. Manusia dalam masalah tauhid asma’ wa sifat terbagi menjadi 5 golongan:
a. Ahlu tamtsil (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)
b. Ahlu takwil (yang menyelewengkan makna sifat-sifat Allah dari makna yang sebenarnya kepada makna yang bathil seperti mentakwil makna istawa/tinggi dengan istaula/menguasai).
c. Ahlu tafwidh (yang menyerahkan makna ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah kepada Allah ).
d. Ahlu takhyiil (kelompok filsafat yang menuduh bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah itu hanyalah khayalan para Nabi)
e. Kelompok yang di atas kebenaran (yaitu ahlussunnah wal jama’ah yang menetapkan apa adanya nama dan sifat Allah sesuai dengan dzahirnya nash Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa menyerupakannya dengan makhluk).
4. Ada 10 kaidah tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah menurut ahlussunnah wal jamaah:
a. Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah itu harus berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini dikarenakan Allah adalah dzat yang ghaib bagi kita dan kita tidak mungkin bisa mengetahui sesuatu yang ghaib kecuali jika terpenuhi salah satu dari tiga hal ini:
-. Melihat langsung sesuatu tersebut (ini mustahil)
-. Melihat yang semisal sesuatu tersebut (ini mustahil)
-. Mendapatkan informasi yang valid tentang hal tersebut.
b. Tidak ada bedanya antara dalil (hadits ahad/sedikit periwayatannya dan mutawatir/banyak periwayatannya) dalam kita menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Tolok ukurnya adalah keshahihan hadits tersebut dan bukan ahad atau mutawatirnya. Dan ini adalah garis pembeda antara ahlussunnah dengan ahli bid’ah. Allah berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
(QS. Al-Hasyr : 7)
Allah tidak membedakan antara yang ahad dan yang mutawatir.
c. Semua sifat Allah adalah sifat yang maha sempurna. Allah tidak disifati melainkan dengan sifat-sifat yang sempurna dan bagi-Nya kesempurnaan dalam nama-nama, sifat-sifat serta perbuatan-perbuatan-Nya. Oleh karenanya, sesuatu yang bisa mengurangi kesempurnaan-Nya maka tidak boleh disandarkan/disifatkan kepada-Nya.
d. Wajib untuk kita mengimani semua sifat-sifat Allah dan sekaligus kita menjauhi empat hal berikut ini:
-. Tamtsil: menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
-. Takyiif: membayang-bayangkan sifat Allah.
-. Tahrif/takwil: menyelewengkan makna sifat Allah dari makna yang sebenarnya kepada makna yang bathil. Dan ini merupakan perbuatan orang-orang yahudi serta orang-orang musyrikin.
-. Ta’thil: menafikan sifat Allah.
e. Menetapkan sifat Allah itu maknanya menetapkan sifat yang dimiliki oleh Allah dan bukan bermakna menyamakan Allah dengan makhluk.
f. Sifat-sifat Allah itu sudah kita maklumi dari segi maknanya namun tidak kita maklumi dari segi bagaimananya.
g. Wajib bagi kita memperlakukan nash-nash tentang sifat Allah sesuai dengan dzahirnya yang layak bagi Allah. Dan dzahirnya nash itulah yang diinginkan oleh Allah. Inilah salah satu pembeda antara ahlussunnah dengan ahli bid’ah.
h. Wajib bagi kita untuk berpegang dengan lafadz-lafadz yang syar’i dan meninggalkan lafadz-lafadz yang bid’ah yang memiliki makna yang bercabang[3].
i. Secara asal mengenal Allah itu dengan metode menetapkan (sifat-sifat-Nya) dan bukan dengan metode menafikan[4].
j. Sifat-sifat Allah terbagi menjadi beberapa bagian dilihat dari beberapa sisinya. Hal ini berdasarkan istiqra’ (penelitian di dalam nash-nash). Diantaranya, sifat Allah terbagi menjadi dua dilihat dari segi keterkaitannya dengan kehendak Allah: Sifat Dzatiyah (yaitu sifat yang senantiasa Allah tersifati dengannya, seperti sifat tinggi diatas semua makhluk-Nya) dan sifat fi’liyah/ikhtiyariyah (yaitu sifat yang terkait dengan kehendak Allah, jika Dia berkehendak maka Dia tersifati dengannya dan jika tidak maka Dia tidak tersifati dengannya). Istiqra’ itu bukan mengada-adakan sesuatu yang baru, namun dia hanya menampakkan sesuatu yang sudah ada. Hal ini seperti pembagian tauhid menjadi tiga (rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa sifat). Pembagian sifat menjadi dua seperti diatas itu untuk membantah kelompok ahli bid’ah.
————————————–
[1] Penulis hanya meringkas dan menterjemahkan serta sedikit memberikan keterangan untuk memperjelas.
[2] Kelompok sesat yang menetapkan aqidah (terutama tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah) hanya berdasarkan logika semata).
[3] Seperti ucapan ahli bidah bahwa Allah tidak di arah manapun. Ahlussunnah berpegang dengan lafadz syar’i bahwa Allah istawa/tinggi di atas ‘Arsy.
[4] Semisal kita mengatakan Allah memiliki sifat penglihatan, pendengaran, wajah, tangan, istiwa’/tinggi diatas ‘Arsy, kasih sayang, cinta, ridha, marah, murka dll. Bukan dengan mengatakan Allah itu tidak berjism, tidak basah, tidak kering, tidak pendek, tidak panjang, tidak di arah dll. Lihat pembahasan ini di kitab syarah aqidah ath-thahawiyah 1/69 oleh Imam Ibnu Abi Al-‘Izzi Al-Hanafi.