IMAM ASY-SYAFII, MURID-MURID BELIAU DAN ULAMA-ULAMA BESAR MADZHAB ASY-SYAFII MENJAWAB “DIMANA ALLAH?”
- Imam Asy-Syafi’i (wafat tahun 204 H) rahimahullahu berkata: “Aqidah yang aku pegang erat dan aku melihat para ahlul hadits yang aku menimba ilmu dari mereka semisal Sufyan dan Malik dan selain keduanya juga berpegang teguh dengannya yaitu mengikrarkan dua kalimat syahadat dan bahwasanya Allah ada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-Nya. Dia dekat dengan hamba-Nya sesuai kehendak-Nya. Dan bahwasanya Allah turun ke langit dunia sesuai kehendak-Nya.” [1] Dan aqidah imam Asy-Syafi’i ini sudah masyhur di kalangan para ulama, seperti yang dinukil oleh Imam Ash-Shabuni rahimahullahu.
Imam Ash-Shabuni Asy-Syafi’i (wafat tahun 449 H) berkata: “Imam kami yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu di dalam kitabnya yang luas [2] dalam pembahasan memerdekakan budak beriman dalam kaffarah dan bahwasanya budak yang tidak beriman tidak sah dijadikan kaffarah (beliau) berhujjah dengan hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam yang ingin memerdekakan budak perempuannya yang hitam untuk kaffarah, maka beliau pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menguji sang budak seraya berkata: ‘Siapa aku?’ Maka sang budak mengisyaratkan kepada beliau dan ke atas langit, maksudnya bahwa engkau adalah utusan Allah yang ada di atas langit. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Merdekakan dia karena dia adalah wanita mukminah’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memvonis sang budak sebagai seorang muslimah dan mukminah karena dia mengikrarkan bahwa rabbnya ada di atas langit dan dia tahu bahwa rabbnya tersifati dengan sifat ketinggian. Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berhujjah dengan hadits tersebut ketika membantah pendapat yang membolehkan memerdekakan budak yang tidak beriman dalam masalah kaffarah, karena keyakinan beliau bahwa Allah di atas makhluk-Nya, di atas langit yang ketujuh , di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana ini adalah aqidah kaum muslimin ahlussunnah wal jamaah (yang asli dan sejati) dari kalangan salaf maupun khalaf. Beliau tidak akan berkata (berkeyakinan) jika beliau tidak meriwayatkan hadits yang shahih [3]. [4]
- Imam Al-Humaidi (murid Imam Asy-Syafi’i yang wafat pada tahun 219 H) berkata: “Kita mengatakan:
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
“Allah yang Maha Pemurah tinggi di atas ‘Arsy.” (QS. Thâha: 5).
Barangsiapa yang meyakini selain ini maka dia adalah seorang mu’atththil (yang mengingkari) dan termasuk pengikut kelompok Jahmiyah”. [5]
- Imam Al-Muzani (murid Imam Asy-Syafi’i yang wafat pada tahun 264 H) berkata: “Dia tinggi di atas ‘Arsy (dengan Dzat-Nya yang mulia). Dan Dia dekat dengan makhluk-Nya dengan ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu dan Dia menakdirkan segala sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya. Dan Dia Maha Dermawan lagi Maha Mengampuni.
يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghâfir: 19).” [6]
- Imam Abu Sa’id Ad-Darimi (wafat tahun 280 H) berkata (ketika membantah pengikut kelompok Jahmiyah): “Adapun ucapanmu bahwa Allah tidak menyifati diri-Nya di suatu tempat, maka jika engkau membaca Al-Quran dan engkau memahami sedikit dari Bahasa Arab maka engkau mengetahui bahwa dirimu itu telah berdusta atas nama Allah. Hal ini dikarenakan Allah menyifati bahwa dirinya ada di suatu tempat. Dia menyebutkan bahwa dirinya di atas ‘Arsy dan ‘Arsy itu di atas langit. Hal ini telah diketahui oleh kebanyakan kaum wanita dan anak-anak, apalagi kaum laki-laki dewasa. Allah berfirman:
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
“Allah yang Maha Pemurah tinggi di atas ‘Arsy.” (QS. Thâha: 5).” [7]
- Imam Ibnu Khuzaimah (wafat tahun 311 H) berkata: “Bab Penjelasan bahwa Allah di atas langit. Sebagaimana yang telah Allah kabarkan kepada kita di dalam kitab suci-Nya dan lewat lisan Rasul-Nya ‘alaihi as-salam. Dan sebagaimana yang telah dipahami oleh fitrah kaum muslimin baik dari kalangan ulama maupun yang awam, yang merdeka maupun budak, yang laki maupun yang perempuan, yang baligh maupun anak-anak. Dan setiap yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘ala maka dia mengangkat kepalanya ke atas langit dan menengadahkan kedua tangannya kepada Allah, ke atas bukan ke bawah.” [8]
- Imam Abu Bakar Al-Ismaa’ili (wafat tahun 371 H) berkata: “Dan bahwasanya Allah tinggi di atas ‘Arsy tanpa (kita ketahui) bagaimananya, karena Allah hanya mengabarkan bahwa Dia istiwa’/tinggi di atas ‘Arsy namun Dia tidak mengabarkan kepada kita bagaimana istiwa’Nya.” [9]
- Imam Al-Lalika’i (wafat tahun 418 H) berkata: “Bab tentang riwayat-riwayat yang berkaitan dengan firman Allah:
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
“Tuhan yang Maha Pemurah tinggi di atas ‘Arsy.” (QS. Thâha: 5). Dan bahwasanya Allah ada di atas ‘Arsy-Nya di atas langit”.” [10]
- Imam Ash-Shabuni (wafat tahun 449 H) berkata: “Ahlul Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah subhana wa ta’ala di atas langit yang ketujuh di atas ‘Arsy-Nya. Sebagaimana yang dikabarkan oleh Al-Quran di dalam surat Yunus:
إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۖ مَا مِن شَفِيعٍ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ إِذۡنِهِۦۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡ فَٱعۡبُدُوهُۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa kemudian Dia tinggi di atas arsy. Dia mengatur segala urusan, tidak ada seorang pun yang bisa memberi syafaat kecuali setelah izin-Nya. Demikianlah Allah Rab kalian maka ibadahilah Dia, tidakkah kalian ingat ?!”. (QS. Yûnus : 3)…” [11]
- Imam Al-Ashbahaani (wafat 535 H) berkata: “Ali bin Umar Al-Harbi menyebutkan di dalam kitab As-Sunnah….beliau berkata: Diantara aqidah kami bahwa Allah memiliki ‘Arsy dan Dia di atas ‘Arsy…” [12]
- Imam At-Tibrizi (wafat 740 H) berkata dalam qasidahnya:
“Allah tinggi di atas langit dan Dia bersama kita dimana saja kita berada
Tanpa kita ketahui bagaimananya bukan seperti yang terlintas dalam (benak) ahli bid’ah” [13]
[1] Ijtimâ’ Juyûsy Al-Islâmiyyah hal. 165 oleh Imam Ibnu Al-Qayyim dengan tahqiq Dr. ‘Awwad Abdullah Al-Mu’tiq cet. 2 tahun 1415 H / 1995 M Maktabah Ar-Rusyd–Riyadh.
[2] Lihat kitab Al-Umm 7/204-205 cet. 1 tahun 1420 H/2000 M Maktab Al-Islami – Beirut, Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku lebih suka untuk tidak memerdekakan kecuali budak wanita yang baligh dan beriman. Apabila dia bukan yang beriman kemudian dia menyifatkan (mengikrarkan) keislaman, maka itu sah.” Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hilal bin Usamah, dari Atha’ bin Yasar dari Mu’awiyah bin Hakam radhiyallahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki seorang budak wanita yang menggembala kambingku. Ketika aku mendatanginya aku mendapati ada kambing yang hilang, lalu aku bertanya kepadanya dan dia menjawab: ‘Kambing tersebut dimakan serigala.’ Aku pun marah -sebagai manusia- aku pun menempeleng wajahnya. Apakah aku memerdekakannya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada sang budak wanita: ‘Dimana Allah? Maka dia menjawab: ‘Di atas langit.’ Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: ‘Siapakah aku?’ Dia menjawab: ‘Engkau adalah utusan Allah.’ Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Merdekakan dia’….” (Redaksi hadits seperti ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya kitab Al-Masâjid wa Mawâdhi’u Ash-Shalâh bab Tahrîm Al-Kalâm fi Ash-Shalâh no. 537)
[3] Ahlul bid’ah berusaha sekuat tenaga untuk melemahkan hadits tersebut karena tidak sesuai dengan aqidah mereka yang batil, padahal hadits tersebut ada dalam Shahîh Muslim dan dishahihkan juga oleh Imam Asy-Syafi’i. Itulah salah satu ciri khas ahlul bid’ah sepajang zaman. Na’udzubillahi min dzalika.
[4] Aqidah As-Salaf Ashhabi Al-Hadits hal. 42-43 oleh Imam Ash-Shabuni cetakan Maktabah Al-Ghuraba’ tahun 1994M/1415 H dengan tahqiq dan takhrij Badr bin Abdillah Al-Badr)
[5] Ushûlussunnah oleh Imam Al-Humaidi hal. 56 cetakan Maktabah Ar-Rusyd tahun 2001 dengan tahqiq, takhrij, dan ta’liq Syaikh Abdullah bin Sulaiman Al-Ghufaili.
[6] Syarhu As-Sunnah hal. 75 oleh Imam Al-Muzani cetakan Maktabah Al-Ghuraba’ Al-Atsariyah tahun 1995 M / 1415 H dengan tahqiq Jamaal ‘Azzuun.
[7] Naqdu Al-Imâm Abi Sa’îd Utsmân bin Sa’îd ‘ala Al-Marisi Al-Jahmi Al-‘Anîd 1/444 cetakan pertama Maktabah Ar-Rusyd dan Syarikah Ar-Riyadh tahun 1998 M/1418H.
[8] Kitâb At-Tauhîd hal. 110 oleh Imam Ibnu Khuzaimah cetakan Darul Kutub ‘Ilmiyah Beirut – Lebanon tahun 1978 M/1398 H dengan ta’liq Muhammad Khalil Harras.
[9] I’tiqâd Aimmah Ahli Al-Hadîts hal. 35 oleh Imam Abu Bakar Al-Isma’ili cetakan pertama Darul Fath tahun 1995 M/1416 H dengan tahqiq Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis.
[10] Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlissunnah wa Al-Jamâah 2/429 oleh Imam Al-Lalika’i cetakan Daru At-Thayyibah tahun 1420 H dengan tahqiq Dr. Ahmad bin Sa’ad Al-Ghamidi.
[11] Aqîdah As-Salaf Ashhâbi Al-Hadits hal. 36 oleh Imam Ash-Shabuni cetakan Maktabah Al-Ghuraba’ tahun 1994 M/1415 H dengan tahqiq dan takhrij Badr bin Abdillah Al-Badr.
[12] Al-Hujjah fi Bayân Al-Mahajjah 1/265-266 oleh Imam Al-Ashbahaani cetakan Daru Ar-Rayah tahun 1999 M/1419 H dengan tahqiq Syaikh Muhammad bin Rabi’ Al-Madkhali.
[13] Syarhu Al-Qasîdah Al-‘Ajluniyah Fi Al-Aqîdah As-Salafiyah hal. 173 oleh Imam At-Tibrizi cetakan Markaz Al-Albani tahun 2018 M/1439 H dengan ta’liq dan syarah Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi rahimahullahu.
Link PDF: http://bit.ly/38xDjwo