[Serial Aqidah #5] AQIDAH IMAM AL-HUMAIDI
Ushulussunnah Imam Al-Humaidi[1]
Imam Al-Humaidi[2] rahimahullahu berkata : As-Sunnah[3] (aqidah) menurut kami adalah :
1. Seseorang beriman kepada takdir yang baik maupun yang jelek, yang manis maupun yang pahit. Dan dia mengetahui bahwa apa yang Allah takdirkan tidak akan mungkin meleset darinya. Dan apa yang tidak Allah takdirkan tidak akan mungkin menimpanya. Dan itu semua adalah takdir dari Allah ‘azza wa jalla.
2. Dan sesungguhnya iman adalah ucapan dan perbuatan. Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Tidak akan bermanfaat ucapan kecuali dengan perbuatan. Dan tidak bermanfaat perbuatan dan perkataan kecuali dengan niat. Dan tidak bermanfaat ucapan, perbuatan serta niat kecuali dengan mengikuti sunnah[4].
3. Mendoakan para sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semuanya (dengan kebaikan/rahmat). Karena Allah ‘azza wa jalla berfirman :
وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٲنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَـٰنِ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami.” (QS. Al-Hasyr : 10)
Kita tidak diperintahkan melainkan untuk memintakan ampun bagi para sahabat rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang mencela mereka atau salah seorang dari mereka maka dia bukan diatas sunnah dan dia tidak berhak mendapatkan harta rampasan perang. Banyak yang menceritakan kepada kami tentang hal ini dari Malik bin Anas bahwasanya beliau berkata : Allah membagi harta rampasan perang seraya berfirman :
لِلۡفُقَرَآءِ ٱلۡمُهَـٰجِرِينَ ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن دِيَـٰرِهِمۡ
(juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman. (QS. Al-Hasyr : 8)
kemudian Allah berfirman :
وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٲنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَـٰنِ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami.” (QS. Al-Hasyr : 10)
Barangsiapa yang tidak memintakan ampun untuk para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang mendapatkan harta rampasan perang.
4. Al-Qur’an adalah firman Allah. Aku mendengar Sufyan (bin ‘Uyainah) berkata : Al-Qur’an adalah firman Allah. Dan barangsiapa yang mengatakan : dia adalah makhluk maka dia ahli bid’ah. Kita tidak pernah mendengarkan seorang pun (dari salafush shalih) yang mengatakan demikian.
5. Dan aku mendengar Sufyan (bin ‘Uyainah) berkata : Iman adalah ucapan dan perbuatan bisa bertambah dan bisa berkurang. Muhammad bin ‘Uyainah (saudara Sufyan) berkata : Wahai Abu Muhammad (Sufyan) : Jangan engkau mengatakan berkurang. Maka Sufyan pun marah seraya berkata : Diamlah wahai anak kecil. Bahkan iman bisa berkurang hingga tidak tersisa sedikitpun.
6. Mengikrarkan tentang ru’yah (orang beriman melihat Allah) setelah kematian[5].
7. (Mengikrarkan) apa yang telah disampaikan oleh Al-Qur’an dan hadits (tentang sifat-sifat Allah). Seperti firman Allah :
وَقَالَتِ ٱلۡيَہُودُ يَدُ ٱللَّهِ مَغۡلُولَةٌۚ
“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu.” (QS. Al-Maidah : 64)
Dan seperti firman-Nya :
وَٱلسَّمَـٰوَٲتُ مَطۡوِيَّـٰتُۢ بِيَمِينِهِ
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar : 67)
Dan yang semisal dengan ini di dalam Al-Qur’an dan hadits. Kita tidak boleh menambah-nambahinya atau mentakwilkannya. Kita wajib berhenti kemana Al-Qur’an dan hadits berhenti[6].
8. Kita mengatakan :
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
“Tuhan yang Maha Pemurah tinggi di atas ‘Arsy.” (QS.Thaha : 5).
Barangsiapa yang meyakini selain ini maka dia adalah seorang mu’atththil (yang mengingkari) dan termasuk kelompok Jahmiyah[7].
9. Kita tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Khawarij [8]: Barangsiapa yang melakukan dosa besar maka dia kafir.
10. Kita tidak mengkafirkan (seorang muslim) karena perbuatan dosa[9]. Sesungguhnya kekufuran adalah meninggalkan lima (rukun Islam) yang telah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan :
بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان
Islam dibangun diatas lima hal : Persaksian bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji serta mengerjakan puasa Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
- Adapun tiga (rukun) dari lima rukun tersebut maka tidak perlu diperdebatkan tentang orang yang meninggalkannya. Yaitu yang tidak bersyahadat, tidak shalat dan tidak berpuasa. Karena hal tersebut tidak bisa ditunda dari waktunya dan tidak sah yang mengqadha’nya jika dia lalai dengan sengaja meninggalkannya.
- Adapun zakat maka barangsiapa yang menunaikannya maka itu sah meski dia berdosa karena menundanya.
- Dan adapun haji maka ketika sudah wajib atasnya dan dia mendapatkan jalan untuk melaksanakannya maka wajib atasnya. Namun tidak wajib untuk dia langsung melaksanakannya pada saat itu juga. Tapi tetap wajib untuk dia melaksanakannya dan kapan saja dia melaksanakannya maka telah gugur kewajibannya. Dan dia tidak berdosa ketika menundanya, selama dia telah melaksanakannya. Hal ini berbeda dengan masalah zakat yang dia berdosa (jika menundanya), karena zakat adalah hak kaum muslimin yang miskin. Jika dia menundanya maka dia berdosa hingga zakat itu sampai ke tangan mereka. Adapun masalah haji maka itu antara dia dengan rabnya. Jika dia telah melaksanakannya maka telah gugur kewajibannya. Apabila dia mati dalam keadaan mampu berhaji namun dia belum berhaji maka dia akan minta untuk dikembalikan ke dunia untuk berhaji [10]. Dan wajib bagi keluarganya untuk menghajikannya dan kami berharap haji tersebut sah untuknya. Hal ini sebagaimana kalau orang tersebut dibayarkan hutangnya setelah kematiannya [11].
Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam dan keluarga serta sahabat beliau.
———————————————-
[1] Diterjemahkan dari kitab Ushulussunnah oleh Imam Al-Humaidi dengan tahqiq, takhrij, dan ta’liq Syaikh Abdullah bin Sulaiman Al-Ghufaili yang diterbitkan oleh maktabah Ar-Rusyd-Riyadh 2001.
[2] Nama beliau adalah Abdullah bin Zubair bin Isa Al-Asadi Al-Humaidi. Beliau wafat tahun 219 H di kota Mekah. Beliau adalah guru dari Imam Al-Bukhari dan imam ahlussunnah yang lainnya. Imam Ahmad berkata : Al-Humaidi adalah seorang imam menurut kami. Imam Bukhari berkata : Al-Humaidi adalah imam dalam ilmu hadits. (Lihat biografinya di muqaddimah kitab diatas).
[3] Diantara kitab-kitab aqidah yang diberi judul As-Sunnah adalah As-Sunnah oleh Ibnu Abi ‘Ashim, As-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, As-Sunnah oleh Al-Khallal, Ashlu As-Sunnah wa i’tiqad Ad-Diin oleh Abu Hatim Ar-Razi dan Abu Zur’ah Ar-Razi, Ushulussunnah oleh Al-Humaidi, Ushulussunnah oleh Ahmad bin Hanbal, Ushulussunnah oleh Ibnu Abi Zamanain, Syarhu As-Sunnah oleh Al-Barbahari, Syarhu As-Sunnah oleh Al-Muzani, Sharihu As-Sunnah oleh Ath-Thabari.
[4] Inilah metode ahlussunnah wal jama’ah bahwa tidak cukup hanya sekedar niat yang baik dalam beragama ini, namun semuanya harus ditimbang dengan timbangan sunnah/petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam masalah aqidah, ibadah, ataupun dalam berdakwah. Hal ini berbeda dengan ahli bid’ah yang hanya bermodalkan akal, perasaan, mimpi, wasiat sang guru atau pun semangat yang membara dalam beragama ini tanpa bimbingan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[5] Ucapan ini membantah kelompok sesat dari kalangan tasawwuf yang meyakini adanya kasyf (melihat Allah di dunia) dalam keadaan terjaga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja sebagai manusia terbaik belum pernah melihat Allah di dunia ini dalam keadaan terjaga, apalagi selain beliau.
[6] Inilah aqidah para imam ahlussunnah wal jama’ah tentang sifat-sifat Allah, meyakini apa adanya sesuai dzahirnya tanpa menyelewengkan makna yang sebenarnya. Mereka menetapkan sifat tangan bagi Allah sesuai dengan kebesaran-Nya, tanpa mereka samakan dengan tangan makhluk, tanpa mereka bayang-bayangkan bagaimana sifat tangan tersebut, tanpa mereka takwilkan sifat tangan tersebut dengan qudrah/kekuasaan dan tidak mereka ingkari.
[7] Sungguh sesat dan kurang beradab kepada Allah, yaitu mereka yang menentang firman Allah atau sabda Rasul yang dengan terang benderang mengatakan bahwa Dia ada di atas langit. Namun mereka mengatakan Allah dimana-mana, Allah tidak butuh tempat, Allah tidak diruang dan tidak di waktu. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.
[8] Semisal kelompok teroris ISIS, namanya beda namun hakikatnya sama saja yaitu Khawarij. Makanya seorang muslim tidak boleh tertipu dengan sloganm propaganda ataupun nama yang indah, tapi lihat hakikatnya, aqidahya, pemikirannya maupun manhaj/metodenya.
[9] Masalah kafir mengkafirkan seorang muslim (secara individu) adalah suatu hal yang besar yang tidak dibolehkan gegabah dalam menyikapinya kecuali bagi para ulama ahlussunnah wal jama’ah. Dan bab inilah yang membedakan dakwah salafiyah ahlussunnah wal jama’ah dengan kelompok khawarij.
[10] Namun hadits tentang ini dikatakan lemah oleh Syaikh Al-Allbani dalam dha’if sunan At-Tirmidzi hal.425.
[11] Masalah menghadiahkan pahala amal ibadah kepada yang telah meninggal dunia harus berdasarkan dalil. Yang ada di dalam dalil / hadits adalah menghadiahkan pahala haji atau umrah, sedekah, puasa nadzar. Adapun menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an maka sebagaimana kata imam An-Nawawi Asy-Syafi’i : “Yang masyhur dari madzhab kami (madzhab Asy-Syafi’i) bahwa bacaan Al-Qur’an tidak akan sampai pahalanya kepada yang meninggal dunia”. (Syarah Shahih Muslim 7/91). Namun mengapa yang mengaku pengikut madzhab Asy-Syafi’i getol melakukan hal ini? Aneh tapi nyata.