METODE DAKWAH BID’AH
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu pernah ditanya tentang sekelompok orang yang terjerumus ke dalam dosa-dosa besar seperti membunuh, merampok, mencuri, meminum khamr dan lain sebagainya. Kemudian ada seorang syaikh dari para masyayaikh yang dikenal dengan kebaikan dan ittiba’ kepada sunnah, ingin untuk menjadikan pelaku kemaksiatan itu bertaubat. Dan (dia kira) tidak mungkin itu (berhasil) kecuali dengan mengadakan konser musik “islami” dengan tujuan tersebut. Yaitu musik dengan alat rebana (murni) tanpa tambahan seperti kempyeng dan dengan senandung syair yang mubah dari seorang penyanyi yang bukan seorang gadis. Ketika sang syaikh tadi menjalankan (metode dakwah) itu ternyata orang-orang itu pun bertaubat. Yang dahulunya mereka tidak shalat, mencuri, tidak membayar zakat berubah menjadi orang yang meninggalkan syubhat, melaksanakan yang wajib dan menjauhi yang haram.
Apakah boleh bagi syaikh tadi mengadakan konser musik “islami” untuk tujuan tersebut karena mendatangkan kemashlahatan [1]? Sedangkan tidak memungkinkan baginya untuk mendakwahi mereka kecuali dengan hal tersebut?
Syaikhul Islam menjawab: Segala puji bagi Allah. Inti jawaban dari pertanyaan ini dan yang semisalnya adalah untuk kita menyakini bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan petunjuk dan agama yang haq untuk dimenangkan diatas semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. Dan bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama Islam ini bagi beliau dan umat beliau. Sebagaimana yang telah Allah firmankan:
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَـٰمَ دِينً۬اۚ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah : 3)
Dan Allah memperingatkan kaum muslimin untuk mengembalikan setiap perselisihan (dalam urusan agama) kepada apa yang Allah turunkan kepada nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Allah berfirman:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِى شَىۡءٍ۬ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِۚ ذَٲلِكَ خَيۡرٌ۬ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisaa’ : 59)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة, وإن عبدا حبشيا, فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا, فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين, تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ, وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة, و كل بدعة ضلالة.
Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin kaum muslimin meskipun dari budak Ethopia. Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku nanti maka dia akan melihat banyak perselisihan. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin. Pegang erat sunnah tersebut dan gigit dengan gigi geraham kalian. Jauhkanlah diri kalian dari hal-hal baru (dalam urusan agama), karena setiap yang baru (dalam urusan agama itu) adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat. (HSR. Abu Daud, Tirmidzi dan An-Nasai)
Beliau juga bersabda:
تركتكم على البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها بعدي إلا هالك
Aku tinggalkan kalian di atas Islam yang putih, malamnya seperti siangnya. Tidak akan menyimpang darinya setelahku kecuali dia akan binasa. (HSR. Abu Daud)
Jika hal ini telah dipahami, maka telah diketahui bahwa Allah memberi hidayah kepada orang yang tersesat dan memberi petunjuk kepada orang yang menyimpang serta menjadikan orang yang berbuat maksiat bertaubat harus dari apa yang telah Allah utus dengannya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika tidak demikian, maka berarti apa yang telah Allah ajarkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu masih tidak cukup dan ajaran Rasul itu masih kurang serta butuh tambahan[2].
Jika hal ini telah jelas, maka kita katakan kepada yang bertanya: Sesungguhnya syaikh yang disebutkan di pertanyaan itu, yang dia berniat untuk menyadarkan para pelaku dosa-dosa besar, yang dia mengira tidak ada cara lain melainkan cara yang bid’ah tersebut. Ini menunjukkan bahwa syaikh ini jahil[3] terhadap metode syar’i yang dengannya para pelaku maksiat bisa bertaubat atau syaikh itu lemah (untuk mengamalkan metode yang syar’i). Sesungguhnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in mereka telah menyeru manusia yang lebih jelek dari orang-orang tersebut, baik dari orang-orang kafir, fasik dan maksiat dengan metode yang syar’i, yang dengannya Allah mencukupkan kita dari metode-metode bid’ah.
Maka tidak boleh dikatakan bahwa tidak ada metode syar’i yang dengannya Allah mengutus Nabi-Nya yang bisa menjadikan pelaku maksiat itu bertaubat. Karena telah diketahui bersama secara pasti dan dari banyak sumber bahwa telah banyak orang yang bertaubat dari kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan –dan tidak ada yang bisa menghitungnya kecuali Allah- dengan metode yang syar’i. Tidak ada di dalamnya perkumpulan yang bid’ah tersebut. Bahkan orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik –mereka adalah sebaik-baik para wali Allah yang bertakwa dari umat ini- bertaubat kepada Allah dengan metode syar’i dan bukan dengan metode yang bid’ah.
Bahkan bisa dikatakan bahwa diantara para syaikh tersebut ada yang jahil dengan metode syar’i atau lemah dalam menjalankannya. Dia tidak memiliki ilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah serta metode mendakwahi manusia yang dengannya mereka bisa bertaubat dengan kehendak Allah. Hingga syaikh tersebut berpaling dari metode syar’i kepada metode bid’ah. Bisa jadi itu didasari oleh niat yang baik –jika masih ada agama dalam dirinya-, atau dia ingin mendapatkan kepemimpinan dan mengambil harta manusia dengan cara yang batil.[4]
——————————————————–
[1] Inilah salah satu syubhat ahli bid’ah atau kelompok harakah, mengukur kebenaran dengan keberhasilan dalam menarik banyak penggemar atau dalam menggapai tujuan. Hal ini karena mereka memiliki kaidah “Tujuan itu menghalalkan segala cara”. Adapun ahlussunnah wal jamaah, dakwah salafiyah, al-firqah an-najiyah mengatakan bahwa ukuran kebenaran adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabat. Tidak semua keberhasilan menunjukkan kebenaran, semisal orang mencuri dia berhasil mencuri dan tidak tertangkap aparat keamanan, apakah itu dibenarkan?
[2] Inilah salah satu bahaya bid’ah, bahwa pelaku kebid’ahan itu secara tidak langsung menuduh Islam itu masih belum sempurna hingga mereka membuat ajaran/metode baru dalam beribadah atau berdakwah. Dan yang lebih parah lagi kalau ada seorang ustadz yang mengaku ahlussunnah atau salafi membuat statment bahwa Islam tidak menjelaskan tata cara pemilihan pemimpin kaum muslimin. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
[3] Tidak semua yang dinamakan syaikh atau DR atau Prof itu pandai dan benar ucapannya, atau metode dakwahnya. Semuanya harus ditimbang kembali dengan timbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih.
[4] Diringkas dan diterjemahkan dari Majmu’ Fatawa 11/620-631 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.