MENGENAL SAYYID QUTHUB LEBIH DEKAT (Edisi 2)
(Diantara contoh kebid’ahan dan penyimpangan aqidah Sayyid Quthub)
6. Penafsiran Sayyid Quthub terhadap al-Istiwa (tinggi diatas Arsy) dengan berkuasa.
Ketika penafsiran Sayyid Quthub sampai pada surat Thaha ayat 5:
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
“Ar-Rahman (Allah) tinggi diatas ‘Arsy”
Dia menyatakan: “Dialah al-Muhaimin (Yang Berkuasa) atas segenap alam, Istiwa’ diatas ‘Arsy, adalah kiasan tentang puncak pengaruh dan kekuasaan-Nya.”[24]
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah mengomentari perkataan ini seraya mengatakan: “Maknanya adalah pengingkaran kata Istiwa’ yang sudah dikenal, yaitu Tinggi diatas ‘Arsy, dan ini adalah suatu kebathilan yang menunjukkan bahwa Sayyid Quthub adalah seorang yang buruk lagi keliru dalam hal tafsir”.[25]
7. Mensifati Allah ta’ala dengan sifat menoleh [26].
Sayyid Quthub mengatakan: “Sesungguhnya Allah Yang Besar kemuliaan-Nya, al-‘Adhim, al-Jabbar, al-Qahhar, al-Mutakabbir, Raja diraja atas segala sesuatu, sungguh bermurah hati dalam ketinggian-Nya, dan Dia menoleh kepada makhluk-makhluk, yang disebut insan (manusia) ini.” [27]
8. Sayyid Quthub menolak hadits Ahad dalam urusan Aqidah.
Sayyid Quthub berkata: “Dan hadits-hadits Ahad tidak bisa dipegangi dalam urusan Aqidah, yang menjadi rujukan adalah al-Quran.” [28]
9. Sayyid Quthub mengkafirkan semua masyarakat Islam.
a. Sayyid Quthub berkata: “Sesungguhnya sekarang ini tidak ada satu negara atau masyarakat muslim pun di muka Bumi, kaidah berinteraksi dengan merka adalah dengan syariat Allah dan fiqih Islam.” [29]
Makna perkataannya, bahwa negeri Al-Haramain (Saudi Arabia) yang telah menerapkan syariat Allah, bukan Negara Islam!!
b. Sayyid Quthub berkata: “Sesungguhnya kaum muslimin sekarang ini tidak berjihad ! hal itu dikarenakan kaum muslimin sekarang ini tidak ada !……..sesungguhnya permasalahan adanya Islam dan kaum muslimin adalah permasalahan yang perlu diobati sekarang ini”. [30]
c. Sayyid Quthub berkata: “Sungguh waktu terus berputar seperti ketika agama ini datang membawa kalimat Laa Ilaaha Illallah kepada manusia. Sungguh manusia telah murtad, beralih kepada peribadatan kepada para hamba dan kepada kezhaliman berbagai agama, berpaling dari Laa Ilaaha Illallah, meskipun masih ada sekelompok orang yang memperdengarkan Laa Ilaaha Illallah dikala adzan….” [31]
d. Sayyid Quthub berkata: “Sesungguhnya masyarakat jahiliyah yang kita hidup didalamnya sekrang ini, bukanlah masyarakat Muslim.” [32]
10. Sayyid Quthub menyelisihi para ulama dalam menafsirkan makna Laa Ilaaha Illallah.
a. Sayyid Quthub berkomentar tentang surat al-Qashash pada firman Allah:
وَهُوَ ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَۖ
“Dan Dialah Allah, tiada sesembahan selain Dia”. (QS. Al-Qashash : 70)
Sayyid Quthub menyatakan: “Maka tidak ada sekutu bagi-Nya, dalam hal penciptaan dan memilih.” [33]
Disini Sayyid Quthub menafsirkan kalimat Tauhid dengan tauhid rububiyah (ketuhanan), dan dia meninggalkan maknanya yang utama, yaitu tauhid uluhiyah (peribadatan).”
b. Sayyid Quthub berkata: “Sesungguhnya termasuk perkara yang pasti dalam agama, bahwa tidak mungkin tegak aqidah seseorang didalam hatinya, dan dalam kenyataan sebagai agama, kecuali manusia bersaksi Laa Ilaaha Illallah, yaitu tidak ada hakim kecuali Allah, kehakiman yang terwujud dalam bentuk syariat dan perintah-Nya.” [34]
Sayyid Quthub menafsirkan kalimat tauhid dengan tauhid hakimiyah saja.
11. Sayyid Quthub menjadikan inti perselisihan pada permasalahan Rububiyah [35].
Sayyid Quthub menyatakan tentang tafsir surat Huud: “Permasalahan uluhiyah (ibadah) bukanlah inti perselisihan (kita dengan kaum musyrikin), sesungguhnya permasalahan rububiyah (ketuhanan) lah yang dihadapi oleh para Rasul terdahulu, dan itu pula yang dihadapi oleh Rasul terakhir”. [36]
12. Islam menurut Sayyid Quthub adalah pencampuran antara Nashrani dan Komunis.
Sayyid Quthub menyatakan “Haruslah Islam itu menjadi hakim, karena Islam merupakan satu-satunya aqidah yang positif dan tumbuh, yang dibentuk dari agama Nashrani dan Komunis hingga menjadi suatu campuran yang sempurna, mengandung semua tujuan kedua aliran tadi, serta memberikan tambahan atas keduanya sehingga menjadi seimbang, cocok, dan adil.” [37]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengomentari perkataan ini dengan ucapan beliau: “Kita katakan kepadanya: Sesungguhnya agama Nashrani merupakan agama yang telah diganti-ganti dan dirubah-rubah oleh para ulama dan pendeta mereka, sedangkan Komunis adalah agama yang bathil (salah), tidak ada sumbernya dari agama-agama langit. Adapun Agama Islam, merupakan agama Allah ta’ala, diturunkan dari-Nya dan Alhamdulillah tidak pernah diganti-ganti.
Allah berfirman:
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُ ۥ لَحَـٰفِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan al-Quran dan Kami-lah yang akan menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Siapa saja yang mengatakan bahwa Islam merupakan pencampuran dari agama ini dan itu, maka mungkin saja dia bodoh tentang Islam atau dia terpukau dengan kehebatan orang-orang kafir dari kalangan Nashrani dan Komunis”. [38]
13. Sayyid Quthub berpendapat bebas memilih Aqidah [39].
Sayyid Quthub mengatakan: “Itulah pemberontakan atas thaghut kefanatikan agama. Hal itu terjadi sejak pengumuman kebebasan keyakinan dalam bentuknya yang terbesar. Allah berfirman:
لَآ إِكۡرَاهَ فِى ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَىِّۚ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Allah berfirman:
وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَأَمَنَ مَن فِى ٱلۡأَرۡضِ ڪُلُّهُمۡ جَمِيعًاۚ أَفَأَنتَ تُكۡرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُواْ مُؤۡمِنِينَ
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus: 99)
Sungguh telah hancur berkeping-keping thaghut fanatik agama, sehingga diganti dengan kebebasan (toleransi) yang mutlak, bahkan agar perlindungan kebebasan beraqidah (keyakinan) dan beribadah menjadi suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang muslim terhadap para pemeluk agama lain, di dalam negeri Islam”. [40]
Disampaikan suatu pertanyaan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah: “kami mendengar dan membaca istilah “kebebasan berfikir”, hakikatnya adalah kebebasan berkeyakinan, maka apakah komentar anda terhadap istilah ini?”.
Beliau menjawab: “Komentar kami atas istilah tersebut, siapa saja yang membolehkan seorang manusia bebas berkeyakinan, meyakini sesukanya salah satu agama yang ada, maka dia kafir. Karena siapa saja yang meyakini bahwa ada orang yang boleh beragama selain dengan agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya dia telah kafir, harus diminta bertaubat, jika bertaubat (Alhamdulillah), dan jika tidak mau (bertaubat) maka wajib dibunuh.” [41]
BERSAMBUNG..
——————————————–
[24] Fii Zhilalil Quran (4/2328)
[25] Silahkan merujuk kepada kaset “Aqwalul Ulama fi muallafaat Sayyid Quthub” (komentar para ulama terhadap karangan-karangan Sayyid Quthub –pent), terbitan tasjilat “Minhajus Sunnah” Riyadh.
[26] Sifat-sifat Allah harus berdasarkan atas al-Quran dan al-Hadits, tidak boleh ditetapkan dengan akal, lihat pembahasannya di al-Qawaid al-Mutsla karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
[27] Fii Zhilalil Quran (6/3936)
[28] Fii Zhilalil Quran (6/4008)
[29] Idem (4/2122)
[30] Idem (3/1634)
[31] Idem (2/1057)
[32] Idem (4/2009)
[33] Idem (5/2707)
[34] Al-Adalah al-Ijtima’iyyah hal. 182.
[35] Padahal Allah berfirman:
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِى ڪُلِّ أُمَّةٍ۬ رَّسُولاً أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّـٰغُوتَۖ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. (QS. An-Nahl: 36) (pent)
[36] Fii Zhilalil Quran (4/1846)
[37] Al-Ma’rakah hal. 61
[38] Al-‘Awashim oleh Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah hal. 22
[39] Inilah salah satu propaganda JIL dan kroni-kroninya, yaitu kebebasan beragama – pent.
[40] Dirasah Islamiyyah hal. 12
[41] Majmu’ fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad al-Utsaimin (3/99)