DIALOG ILMIYAH BERSAMA SYAIKH BIN BAZ TENTANG BERHUKUM DENGAN SELAIN HUKUM ALLAH (Edisi 3)
LANJUTAN..
Syaikh Ibnu Jibrin berkata: “Mereka menjadikannya sebagai ganti syariat dan mereka mengatakan: Hal itu lebih baik dan utama bagi manusia serta sesuai dengan mereka dari pada hukum-hukum syariat?!”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Ini adalah kekafiran tersendiri[1], apabila dia mengatakan: Sesungguhnya ini lebih baik dari hukum syariat atau sederajat dengan hukum syariat atau membolehkan berhukum dengan selain hukum Allah, maka ini adalah kufur besar.”[2]
– Peserta berkata: “Orang-orang yang mengkafirkan undang-undang (buatan), mereka mengatakan para pelakunya tidak kafir? mereka membedakan permasalahan ini dengan mengatakan bahwa undang-undangnya kafir, namun kita tidak mengkafirkan pelakunya !”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Apabila dia menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah, maka dia kafir, meskipun individunya (tetap) divonis kafir. Dikatakan bahwa si fulan itu kafir, jika dia menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah atau menghalalkan zina, dia kafir, sebagaimana dahulu para sahabat mengkafirkan orang-orang yang murtad, Musailamah[3] kafir, Thulaihah[4] sebelum bertaubat dia kafir. Demikian pula yang memperolok agama dia kafir, dan setiap yang melakukan salah satu pembatal (keislaman) dia kafir[5]. Adapun hukuman bunuh adalah hal lain yang membutuhkan orang tersebut dimintai taubat terlebih dahulu.”
– Peserta berkata: “Akan tetapi, apabila dia menisbatkannya kepada syariat, bukankah dia dikatakan sebagai pendusta?”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Ya, dia adalah pendusta.”
– Peserta bertanya: “Akan tetapi, ini tidak kafir?!”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Ya[6]. Adapun jika dia mengatakan: tidak (dari syariat), tapi saya katakan: itu sama dengan syariat atau lebih baik dari syariat, maka ini kufur. Adapun jika dia menganggapnya sebagai bid’ah maka ahlul bid’ah hukumnya sudah jelas[7].”
– Aidh al-Qarni berkata: “Baiklah –wahai Syaikh-, sebagian mereka mengatakan: Sesungguhnya Umar meninggalkan hudud/hukuman pada saat musim paceklik?[8] ”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Ini adalah ijtihad beliau yang beralasan[9], karena pada waktu itu manusia dalam keadaan darurat ketika mencuri.”
– Salman al-Audah berkata: “Semoga Allah menjaga anda, apa dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam ayat [فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ] tersebut adalah kufur kecil? Apa yang memalingkannya (kepada kufur kecil), padahal konteksnya itu penyempitan?”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Ayat tersebut untuk orang yang menghalalkannya, menurut pendapat yang benar[10]. Dan jika ayat tersebut ditujukan kepada yang tidak menghalalkan, maka maksudnya seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, yaitu ‘kufrun duuna kufrin’. Dan jika tidak demikian, maka secara asal [هُمُ الْكَافِرُونَ] mereka adalah orang-orang kafir[11].”
– Peserta bertanya: “Bukankah di dalam atsar Ibnu Abbas tidak ada perkataan ‘jika dia menghalalkan’?!”
– Salman al-Audah berkata: “Ya benar, apa yang mendorong kita untuk menyelewengkan ayat dari dzahirnya?”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Karena dia menghalalkannya. Yang demikian itu karena hal tersebut ditujukan kepada orang-orang kafir yang berhukum dengan selain hukum Allah, mereka menghalalkan bangkai dan selainnya[12]. Adapun kalau si B atau si C berhukum karena uang suap, apakah kita katakan dia kafir?! Tidaklah dia dikatakan kafir karena uang suap tersebut. Atau dia menghukum bunuh si A tanpa hak, karena hawa nafsunya, dia tidaklah kafir. (Setelah diam sejenak) Syaikh berkata: Masalah penghalalan dan pengharaman itu punya kedudukan tersendiri, seperti pezina, apakah dia kafir?”
– Salman berkata: “Tidak kafir.”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Apabila dia mengatakan halal?”
– Salman berkata: “Dia kafir.”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Ini dia (yang dimaksud).”
– Salman dan peserta yang lain berkata: “Dia kafir, meskipun tidak berzina?”
– Syaikh Bin Baz menjawab: “Meskipun dia tidak berzina.”
BERSAMBUNG….
———————————————-
[1] Maksudnya: Seandainya dia menjalankan hukum syariat, akan tetapi dia juga membolehkan atau menganggap baik berhukum dengan selain syariat –secara teori-, maka dia kafir.
[2] Di antara ucapan Samahatusy Syaikh Bin Baz rahimahullahu dalam risalah beliau “Naqdul Qaumiyah al-Arabiyah” hal.50, yang mana beliau menjadikan ukuran kekafiran itu adalah istihlal atau yang serupa dengannya. Beliau berkata: “Dan sungguh para ulama telah bersepakat bahwa barangsiapa yang meyakini selain hukum Allah lebih baik dari hukum Allah atau selain petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih baik dari petunjuk beliau, maka dia kafir. Sebagaimana para ulama juga bersepakat bahwa barangsiapa yang meyakini bolehnya seseorang untuk keluar dari syariat Nabi Muhammad r, maka dia kafir dan sesat.
[3] Al-Kadzdzab/pendusta, al-Makhdzul/yang hina. Lihat ceritanya dalam“Tarikhul Islam” 2/27-29 cet.Darul Gharb oleh Imam adz-Dzahabi.
[4] Dia adalah Thulaihah bin Khuwailid. Adz-Dzahabi berkata tentangnya dalam “Siyar A’lamin Nubala” 1/317: “Seorang pahlawan sejati, seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang yang dijadikan permisalan dalam keberaniannya, dia masuk Islam tahun 9 H, kemudian dia murtad, berbuat dzalim, dan mengaku sebagai seorang Nabi di Najd…kemudian dia terkalahkan dan menjadi hina….lalu dia pun mengambil ibrah darinya dan dia masuk Islam kembali serta memperbaiki keislamannya ketika meninggalmya ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dan beliaupun memaafkannya.”
[5] Syaikhul Islam berkata dalam Majmu’ Fatawa 12/498: “Sesungguhnya pengkafiran secara umum itu seperti ancaman secara umum, wajib untuk mengatakannya secara mutlak dan umum pula. Adapun memvonis perorangan bahwa dia itu kafir atau divonis masuk neraka, maka ini harus ada dalil khususnya, karena vonis tersebut harus ditetapkan syarat-syaratnya dan dihilangkan penghalang-penghalangnya.” Beliau juga berkata dalam 23/345 tentang orang yang mengatakan ucapan kufur: “Akan tetapi pelaku yang mengatakannya tidak bisa langsung divonis kafir hingga tegak baginya hujjah yang bisa kafir orang yang meninggalkannya.” Lihat kitabku “At-Tabshir biqawaa’idit takfir” hal.31-37.
[6] Kecuali dengan syarat yang telah dijelaskan, maka dia bisa kafir sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya dan yang akan datang.
[7] Yaitu suatu penyimpangan dan kesesatan. Imam asy-Syathibi berkata dalam “al-I’tisham” 1/50-51 bahwa seorang ahli bid’ah : “Dia telah mendudukkan dirinya seperti sang pembuat syariat (Allah ta’ala)…Orang yang membuat bid’ah di dalam agama Allah, dia telah menjadikan dirinya sejajar dan sederajat (dengan Allah ta’ala), yang mana dia membuat syariat bersama-Nya.”. Apakah mereka mengkafirkannya?
[8] Seperti dalam “al-Muwaththa‘” 2/748 dan “Mushannaf Abdurrazzaq” 10/242 serta “al-Muhalla” 11/343 oleh Ibnu Hazm. Lihat pula “Al-Badrul Munir” (8/679-al-hijrah) oleh Ibnu Al-Mulaqqin, al-Mughni 9/114 oleh Ibnu Qudamah dan “I’lamul muwaqqi’in” 3/14 oleh Ibnul Qayyim. Dan dinukil dari keduanya: “fiqhu Umar bin Khaththab, muwazinan bifiqhi asyharil mujtahidin” 1/290-292 oleh DR. Ruwa’i ar-Ruhaili.
[9] Lihat “Silsilah al-Ahaadits Shahihah” 2229 oleh guru kami Syaikh al-Albani rahimahullahu, untuk merenungkan dalil akan ijtihad Umar t yang agung ini.
[10] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam “Majmu’ Fatawa” 7/351 setelah menisbatkan ucapan ‘kufrun duuna kufrin” kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Ini adalah ucapan mayoritas ulama salaf, dan inilah yang dikatakan oleh Imam Ahmad dan selain beliau. Dan ini pula yang dijadikan dalil oleh Imam Bukhari dalam “Shahih”nya. Lihat ucapan beliau dalam “Minhajus sunnah” 5/131.
[11] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam “Majmu’ Fatawa” 3/265: Seseorang kapan saja dia menghalalkan yang haram yang telah disepakati atau mengharamkan yang halal yang telah disepakati atau merubah syariat yang telah disepakati, maka dia kafir dan murtad, menurut kesepakatan para fuqaha’. Dan seperti inilah turun firman-Nya, menurut salah satu penafsiran: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah : 44), maksudnya dia menghalalkan untuk berhukum dengan selain hukum Allah.” Lihat kitabku “Shaihatu nadzir” hal.66-67 cet.1417 H.
[12] Sebab nuzul/turunnya ayat mendukung hal ini. Oleh karena itu, “Ayat ini diturunkan Allah kepada dua kelompok dari orang Yahudi …” seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Lihat takhrij hadits tentang hal ini serta penjelasannya dalam “Silsilah al-Ahaadits Shahihah” 2552 oleh guru kami Imam al-Albani rahimahullah. Lihat pula dua kitabku: “At-Tahdzir min fitnatil ghuluw fit takfir” hal.42 cet.3 dan “Tanbihaat Al-Mutawaaimah fir rad ‘ala raf’il laaimah” hal.514.