MENGAPA IMAM IBNU KATSIR RAHIMAHULLAHU MENGKAFIRKAN PENGUASA TARTAR?*
Khawarij merupakan salah satu kelompok sesat yang pertama muncul di tengah kaum muslimin. Meskipun tidak ada pada zaman sekarang ini kelompok yang bernama Khawarij, namun pemikiran mereka banyak diadopsi oleh kelompok takfiriyyin irhabiyyin (teroris) di zaman ini. Diantara ciri khas mereka adalah mengkafirkan penguasa kaum muslimin yang tidak berhukum dengan hukum Allah, secara mutlak tanpa perincian. Mereka berusaha untuk mencari-cari dalih dan dalil, meskipun bukan pada tempatnya, atau mereka sendiri tidak paham akan apa yang mereka sampaikan alias gagal paham.
Diantara syubhat mereka adalah ucapan Imam Ibnu Katsir rahimahullahu yang berkaitan dengan tafsir surat Al-Mâidah ayat 50:
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Mâidah: 50)
Yang secara sepintas mereka pahami bahwa beliau secara mutlak mengkafirkan penguasa yang mengganti hukum Allah atau tidak berhukum dengan hukum Allah. Padahal maksud ucapan beliau bukan seperti apa yang mereka pahami.
Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam/jelas, yang meliputi semua kebaikan dan yang melarang dari segala kejelekan. Kemudian dia condong kepada selain hukum Allah dari pendapat-pendapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat-buat oleh tokoh-tokohnya, tanpa landasan dari syariat Allah. Sebagaimana keadaan orang-orang jahiliyah yang berhukum dengan kesesatan dan kebodohan yang mereka buat sendiri dengan akal dan hawa nafsu mereka. Seperti juga orang-orang Tartar yang berhukum dengan undang-undang negara yang bersumber dari raja mereka, yaitu Jenghis Khan yang membuat hukum yang bernama Al-Yasiq untuk mereka. Dan Al-Yasiq merupakan sebuah kitab hasil kolaborasi dari beberapa syariat, seperti Yahudi, Nashara, Islam, dan banyak juga yang merupakan hasil pemikiran dan hawa nafsunya. Maka hal tersebut menjadi syariat yang diikuti oleh keturunannya, mereka mengutamakannya (menganggapnya lebih baik) daripada hukum Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa diantara mereka yang melakukan hal tersebut, maka dia kafir dan wajib untuk diperangi sampai dia mau kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya dan tidak berhukum sedikitpun dengan selainnya…”. [1]
Dalam ucapan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu di atas, beliau mengkafirkan penguasa Tartar dikarenakan mereka mengutamakan hukum Al-Yasiq diatas hukum Allah ta’ala. Dan hal (pengkafiran) ini tidak bisa diterapkan kecuali bagi yang berbuat seperti perbuatan mereka dari pembatal-pembatal keislaman. Diantaranya adalah mendahulukan selain hukum Allah (menganggapnya lebih baik/lebih utama dari hukum Allah), hal ini juga dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Diantara pembatal-pembatal keislaman mereka itu juga adalah:
- Mereka menjadikan agama Islam seperti agama Yahudi dan Nashara. Dan bahwa semua (agama ini) sama-sama merupakan jalan menuju Allah. Hal ini diibaratkan seperti empat madzhab pada kaum muslimin, lalu diantara mereka ada yang memilih agama Yahudi atau Nashara atau agama Islam. [2]
- Bahkan menteri mereka yang busuk, atheis, munafik mengarang kitab yang isinya: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meridhai agama Yahudi dan Nashara dan beliau tidak mengingkari mereka dan mereka tidak dicela, tidak dilarang dari agama mereka serta tidak diperintah untuk pindah ke agama Islam. [3]
- Orang ini dan semisalnya dari para pendahulu mereka setelah memeluk Islam, mereka menyamakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Jenghis Khan yang terlaknat. Padahal telah diketahui bahwa Musailamah Al-Kadzdzab lebih ringan madharatnya bagi kaum muslimin dari orang ini. Musailamah dulu mendakwahkan bahwa dia adalah sekutu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kerasulan. Oleh karena itu para sahabat dahulu menghalalkan untuk memeranginya dan teman-temannya yang murtad. Lalu bagaimanakah dengan orang yang menampakkan Islam tapi menyamakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Jenghis Khan?. [4]
- Seperti yang dikatakan oleh orang terbesar mereka terdahulu yang datang ke negeri Syam, yang berbicara kepada utusan-utusan kaum muslimin dan mendekat kepada mereka dengan mengaku bahwa mereka adalah muslimin. Dia berkata: “Dua orang ini adalah ayat terbesar yang datang dari sisi Allah, yaitu Muhammad dan Jenghis Khan. Ini adalah tujuan orang terbesar mereka terdahulu ketika mendekat kepada kaum muslimin, yaitu menyamakan utusan Allah, semulia-mulianya ciptaan serta tuannya anak Adam, penutup para nabi, dengan raja kafir dan musyrik. Bahkan dia termasuk tokoh orang musyrik dalam kekafiran, kerusakan dan permusuhan seperti Bukhtanasar dan semisalnya.” [5]
- Yang demikian itu, karena keyakinan orang-orang Tartar terhadap Jenghis Khan yang sangat besar (pengkultusannya). Mereka meyakini bahwa dia adalah anak Allah seperti keyakinan orang Nashara terhadap Al-Masih (Isa bin Maryam) alaihissalam. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya matahari menghamili ibunya, dahulu ibunya ada di kemah lalu turunlah matahari itu dari lubang kemah dan masuk ke dalamnya hingga ibunya hamil. Padahal sudah diketahui oleh setiap orang yang beragama bahwa ini adalah dusta, dan ini merupakan dalil bahwa dia adalah anak zina. Dan ibunya berzina lalu menyembunyikan perbuataannya itu dan mendakwahkan hal ini agar terlepas dari aib zina.” [6]
- Mereka juga menganggapnya sebagai utusan yang paling mulia di sisi Allah dalam pengagungan terhadap apa yang diajarkan dan disyariatkannya atas dasar prasangka dan hawa nafsu. Sampai-sampai mereka mengatakan ketika mereka memiliki sebagian harta: Ini adalah rizki dari Jenghis Khan. Mereka mensyukurinya ketika makan dan minum, mereka menghalalkan untuk membunuh orang yang memusuhi apa yang disunnahkan bagi mereka oleh orang kafir yang terlaknat ini yang memusuhi Allah, para nabi dan rasul-Nya serta para hamba-Nya yang mukmin. [7]
Inilah keadaan para raja Tartar yang masuk agama Islam dan berhukum dengan selain hukum Allah dengan pengingkaran dan penghalalan. Dan mereka berlumuran dengan pembatal-pembatal keislaman diantaranya adalah mengingkari hukum Allah, menghalalkan, mendahulukan dan mengutamakan selain hukum Allah.
Pada akhir perkataan Al-Hafizh Ibnu Katsir di atas “mereka mengutamakannya” dan perkataan beliau “maka barangsiapa yang berbuat demikian diantara mereka maka dia kafir”, menunjukkan dengan jelas bahwa pengkafiran ini khusus bagi mereka dan yang menelusuri jejak mereka dalam mengingkari (hukum Allah), menghalalkan dan mendahulukan serta mengutamakan selain hukum Allah.
Kemudian perkataan beliau “maka menjadilah syariat yang diikuti oleh anak cucu mereka” ini menjelaskan bahwa mereka itu menghalalkan hukum-hukum jahiliyah dan menjadikannya sebagai agama Allah. Dan yang menunjukkan hal tersebut adalah perkataan mereka bahwa Jenghis Khan adalah anak Allah, dan juga perkataan Ibnu Taimiyah yang telah lewat tadi: “Dan mereka bersamaan dengan ini, menjadikannya sebagai utusan yang paling mulia di sisi Allah dalam mengagungkan apa-apa yang diajarkan dan disyariatkannya atas dasar prasangka dan hawa nafsu…..mereka menghalalkan untuk membunuh orang yang memusuhi apa-apa yang diajarkan bagi mereka oleh orang kafir yang terlaknat ini”. Ini adalah suatu kekufuran seperti yang dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi rahimahullahu: “Jika dia berhukum dengan hukum buatannya sendiri dan menganggap bahwa hal itu dari Allah, maka ini adalah kedustaan yang mengharuskan kekafiran”. [8]
Seandainya (jika kita terima) bahwa Ibnu Katsir rahimahullahu menukil ijma’ yang mendukung pendapat mereka (Khawarij/teroris) dan mereka menjadikannya sebagai pegangan, namun ini adalah ijma’ yang dibatalkan oleh lawannya dari perkataan-perkataan Ulama yang lebih terdahulu dari Ibnu Katsir dan yang sezaman dengan beliau. Setiap orang bisa diambil perkataannya dan ditolak kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [9]
Terlebih lagi Imam Ibnu Katsir telah berkata dalam tafsir firman Allah:
وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ
Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir. (QS. Al-Mâidah: 44)
Dikarenakan mereka juhud/mengingkari hukum Allah dengan kesengajaan dari mereka, dan ‘inad/penentangan…”. [10]
Jadi Imam Ibnu Katsir bukan secara mutlak mengkafirkan penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, namun beliau memperinci, yaitu yang kafir adalah yang juhud dan menganggap selain hukum Allah lebih baik daripada hukum Allah seperti penguasa Tartar dan pengikutnya. Beliau adalah imam Ahlussunnah seperti ulama salaf yang lain yang memperinci dan sangat teliti serta berhati-hati dalam masalah ini bukan seperti Khawarij dan anak cucu mereka yang secara mutlak dan serampangan mengkafirkan penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, meskipun dia masih mengimani akan kewajibannya.
Link PDF:
[*] Makalah ini adalah edisi revisi dari makalah yang pernah ditulis dan disebarkan oleh penulis lebih dari 10 tahun yang lalu dengan judul Ibnu Katsir Bukan Khawarij.
[1] Tafsîr Al-Qurân Al-Azhîm 2/93-94.
[2] Majmû’ Fatâwa 28/523.
[3] Idem 28/523.
[4] Majmû’ Fatâwa 28/522.
[5] Idem 28/521.
[6] Idem 28/521.
[7] Idem 28/521-522.
[8] Ahkâmul Qurân 2/624.
[9] Lihat Al-Hukmu Bighairi Mâ Anzalallâhu hal. 162-165 oleh Syaikh Khalid Al-Anbari hafizhahullahu cetakan pertama 1423 H/2003 M Dâru Al-Minhaj.
[10] Tafsîr Al-Qurân Al-Azhîm 2/93.