SIKAP KELOMPOK SESAT TERHADAP AYAT DAN HADITS
Imam Ibnu Abi Al-‘Izzi (wafat tahun 792 H) rahimahullahu berkata: Metode kelompok sesat dalam menafsirkan wahyu (ayat dan hadits) ada dua:
1. Metode tabdil/merubah
2. Metode tajhil/membodohkan.
Kelompok metode tabdil (terbagi lagi menjadi) dua:
A. Ahlu al-wahmi wa takhyiil (kelompok khayalan)
B. Ahlu tahrif wa at-takwil (kelompok penyelewengan makna).
1A. Adapun kelompok takhyiil adalah mereka yang mengatakan bahwa para nabi mengabarkan tentang Allah, hari akhir, surga dan neraka dengan kabar yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya. Mereka ketika memberikan kabar kepada manusia itu hanya dengan khayalan mereka saja. Para nabi itu berkhayal bahwa Allah itu sesuatu yang agung dan besar. Dan bahwa badan manusia akan dikembalikan (di hari akhir), mereka akan mendapat nikmat dan siksa yang bisa dirasakan. Padahal sebenarnya tidak demikian adanya, namun semua itu demi kebaikan manusia meski dengan kedustaan. Itu kedustaan demi kebaikan manusia. Ibnu Siina [1] dan yang semisalnya (dari para filosof) meletakkan ajaran mereka di atas pondasi ini.
B. Adapun kelompok takwil adalah mereka yang mengatakan bahwa para nabi tidak memaksudkan dzahir dari (firman Allah atau) sabdanya. Yang benar (dari maksud ayat atau hadits) adalah apa yang dipahami oleh akal-akal kita sendiri. Kemudian mereka pun mentakwil/mentafsirkannya sesuai dengan akal-akal mereka [2]. Oleh karena itulah, kebanyakan mereka tidak bisa memastikan takwil (mana yang benar). Mereka mengatakan: Mungkin maknanya ini atau itu. Inti ucapan mereka adalah suatu nash itu multitafsir [3].
2. Kelompok tajhil//pembodohan adalah kelompok yang mengatakan bahwa para nabi dan para pengikut mereka itu bodoh dan sesat. Mereka tidak memahami apa yang Allah firmankan dan yang disabdakan oleh rasul-Nya dari sifat-sifat-Nya. Mereka mengatakan: Tidak ada yang tahu tentang maknanya kecuali Allah [4]. Malaikat Jibril tidak tahu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak tahu dan yang lainnya juga tidak tahu. Apalagi para sahabat dan yang mengikuti para sahabat dengan baik. (Mereka seolah berkata: ) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membaca ayat:
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
(Yaitu) Allah yang Maha Pemurah. Yang tinggi di atas ‘Arsy. (QS. Thaha : 5)
إِلَيۡهِ يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلۡعَمَلُ ٱلصَّـٰلِحُ يَرۡفَعُهُۚ
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik (QS. Fathir : 10)
مَا مَنَعَكَ أَن تَسۡجُدَ لِمَا خَلَقۡتُ بِيَدَىَّۖ
Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. (QS. Shaad : 75)
Beliau tidak tahu apa makna dari ayat-ayat tersebut. Tidak ada yang tahu maknanya kecuali Allah. Dan mereka mengira ini adalah metode salaf [5] !!! [6]
———————————————
[1] Banyak orang yang memuji Ibnu Siina bukan hanya dari kalangan awam bahkan sekelas ustadz DR “salafi” juga dan menganggapnya sebagai cendekiawan Islam. Padahal para ulama banyak yang menyesatkannya bahkan mengkafirkannya karena aqidahnya telah keluar dari Islam seperti meyakini alam tercipta dengan sendirinya, tidak adanya hari kebangkitan, dan bahwa Allah tidak tahu tentang hal-hal yang kecil. Lihat penjelasan rincinya di kitab yang berjudul Kutub, Akhbar, Rijaal, Ahaadits tahta Al-Mijhar hal.97-98 oleh Syaikh Abdul Aziz As-Sadhan.
[2] Seperti mentakwil istawa (Allah tinggi diatas ‘arsy) dengan istaula/menguasai, tangan Allah ditakwilkan dengan kekuasaan Allah, Allah turun ke langit dunia ditakwilkan dengan turun rahmat-Nya dsb. Allah berfirman tentang orang Yahudi:
يُحَرِّفُونَ ٱلۡڪَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِ
Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya. (QS. Al-Maidah : 13)
[3] Inilah salah satu senjata ahli bid’ah atau kelompok sesat terutama kelompok liberal untuk menghancurkan Islam atau akidah Islam dengan mempermainkan ayat atau mengotak-atiknya sesuai dengan hawa nafsunya atau bisikan setannya. Mereka tidak mau mengembalikan tafsir ayat kepada tafsir salafush shalih yang paling paham tentang ayat tersebut.
[4] Seolah-olah itu ucapan yang benar dan indah, padahal itu adalah racun yang berbisa. Ya benar, Allah yang paling mengetahui segalanya dan Allah telah mengajarkan kepada Nabi dan para sahabatnya tentang makna ayat-ayat tersebut. Maka kewajiban kita hanya mengikuti pemahaman rasul dan para sahabatnya.
[5] Seperti Hasan Al-Banna (pendiri kelompok Ihwanul Muslimin) yang jatuh ke dalam metode tajhil/tafwidh ini dan menisbatkannya kepada salaf, padahal salaf berlepas diri darinya. Lihat kembali makalah penulis tentang penyimpangan Hasan Al-Banna.
[6] Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyah 2/801-802 dengan tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.