SIKAP IMAM AHMAD TERHADAP PENGUASA YANG DZALIM
Hanbal berkata : “Pada waktu kekhalifahan Al-Watsiq, para fuqaha’ Baghdad berkumpul untuk menemui Abu Abdillah (Imam Ahmad). Mereka adalah Abu Bakar bin Ubaid, Ibrahim bin Ali Al-Mathbakhi dan Fadl bin ‘Ashim. Mereka datang kepada Abu Abdillah dan akupun meminta ijin kepada beliau. Mereka berkata: ‘Wahai Abu Abdillah, persoalan ini sudah membesar dan menyebar, yaitu masalah Al-Qur’an adalah makhluk dan yang lainnya’. Abu Abdillah pun mengatakan: ‘Apa yang kalian inginkan’. Mereka mengatakan: ‘Kami meminta pendapat anda tentang sikap kami yang tidak rela dengan kekuasaannya’. Abu Abdillah pun menasihati mereka sesaat.
Imam Ahmad mengatakan kepada mereka: ‘Wajib bagi kalian untuk mengingkarinya dalam hati kalian dan jangan kalian meninggalkan ketaatan kepadanya dan jangan kalian memecah belah barisan kaum muslimin, serta menumpahkan darah kalian bersama darah kaum muslimin. Perhatikan akibat yang akan terjadi dari perbuatan kalian. Bersabarlah hingga orang yang baik bisa tentram atau orang-orang yang fajir dibinasakan’.
Beliaupun menasihati mereka dengan ucapan yang banyak, namun aku tidak menghafalkannya dan merekapun pergi. Akupun mendatangi Abu Abdillah bersama ayahku setelah mereka semua pergi. Maka ayahku berkata kepada Abu Abdillah: ‘Kita memohon kepada Allah keselamatan bagi diri kita dan umat Muhammad. Aku tidak suka seseorang melakukan hal ini’. Ayahku berkata: ‘Wahai Abu Abdillah, apakah memberontak itu benar menurutmu?’. Beliau berkata: ‘Tidak, ini menyelisihi atsar yang memerintahkan kita untuk bersabar’. Kemudian Abu Abdillah menyebutkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (meskipun dia memukulmu maka bersabarlah, …).”[1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Pengkafiran kelompok Jahmiyah sudah masyhur dari para ulama dan imam-imam salaf. Namun Imam Ahmad tidak mengkafirkan individu-individu mereka. Sesungguhnya yang mengajak kepada ucapan (Jahmiyah) lebih parah daripada yang hanya mengatakannya saja. Dan yang menyiksa orang yang menyelisihinya lebih parah dibandingkan orang yang mengajak saja. Dan orang yang mengkafirkan orang yang menyelisihinya lebih parah daripada yang hanya menyiksanya saja. Mereka -para pemimpin tersebut- mengucapkan ucapan Jahmiyah bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluk dan Allah tidak bisa dilihat pada hari kiamat dan yang lainnya. Mereka mengajak manusia kepada hal tersebut, menguji dan menyiksa yang tidak mau menerima ajakan mereka serta mengkafirkan mereka. Sampai-sampai, mereka tidak akan melepaskan tawanan hingga mereka mengikrarkan ucapan Jahmiyah bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluk dan yang lainnya. Mereka tidak mau memilih seseorang (pejabat) serta tidak memberi harta baitul mal kecuali bagi yang mengatakan hal tersebut. Meskipun demikian, Imam Ahmad masih mendoakan rahmat untuk mereka dan memintakan ampun untuk mereka, karena beliau tahu bahwa mereka bukanlah orang-orang yang mendustakan Rasul ataupun mengingkarinya. Mereka hanya mentakwil dan mereka pun salah dan mereka membeo kepada orang lain.”[2]
Beliau juga berkata: “Meskipun demikian, Imam Ahmad tidak mengkafirkan individu-individu Jahmiyah[3] dan tidak setiap orang yang beliau katakan Jahmiyah beliau kafirkan, demikian pula yang menyepakati Jahmiyah dalam sebagian bid’ah mereka. Bahkan, Imam Ahmad shalat dibelakang Jahmiyah yang menyeru kepada ucapan mereka, menguji dan menyiksa orang-orang yang menyelisihi mereka dengan siksa yang pedih. Namun Imam Ahmad dan yang semisal beliau tidak mengkafirkan mereka, bahkan beliau masih meyakini keimanan dan kepemimpinan mereka. Beliau mendoakan mereka dan shalat, haji dan berjihad di belakang mereka. Beliau juga melarang memberontak kepada mereka, sebagaimana pendapat para Imam yang semisal beliau. Beliau mengingkari ucapan bathil tersebut yang merupakan kekafiran besar, meskipun mereka tidak mengetahui bahwa hal tersebut kufur. Beliau mengingkari dan berjuang untuk membantah ucapan tersebut sesuai dengan kemampuan. Beliau menggabungkan antara ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menghidupkan Sunnah dan agama serta mengingkari Bid’ah Jahmiyah dan sekaligus memelihara hak-hak kaum muslimin baik pemimpin maupun rakyatnya, meskipun mereka orang-orang bodoh dan mubtadi’, dzalim dan fasik.”[4]
Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata : “Khalifah Ma’mun membunuh para ulama yang tidak mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Dia memaksa manusia untuk mengucapkan perkataan batil ini. Tidak pernah sedikitpun kita mendengar dari Imam Ahmad dan selainnya, bahwa ada seseorang dari mereka yang berdiam diri (aksi mogok) di masjid selamanya. Dan kita juga tidak pernah mendengar, bahwa para ulama tersebut menyebarkan aib para pemimpin (kaum muslimin) dalam rangka untuk menanamkan kedengkian, permusuhan dan kebencian di dalam hati rakyat terhadap pemimpinnya. Kita tidak pernah membolehkan demonstrasi atau mogok kerja atau yang semisalnya. Padahal masih ada jalan lain (yang syar’i) untuk memperbaiki. Tapi di balik ini semua, ada orang-orang yang merasuk secara rahasia, baik dari dalam maupun dari luar, berupaya untuk mengadakan hal-hal tersebut”.[5]
———————————————
[1] Diriwayatkan oleh Hanbal dalam “Mihnah Imam Ahmad” hal 70-72 dan Al-Khallal dalam “As-Sunnah” 90.
[2] “Majmu Fatawa” (23/348-349).
[3] Inilah yang dikatakan oleh para ulama ahlussunnah wal jama’ah bahwa tidak setiap orang yang mengucapkkan ucapan kufur besar bisa langsung divonis kafir/murtad hingga terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan dinafikan darinya pembatal-pembatalnya. Dan ini adalah manhaj syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, tapi ada orang-orang yang jahil atau dengki yang menuduh bahwa beliau adalah sumber takfiriyyin/teroris. Sungguh ini adalah tuduhan dusta dan mengada-ada tanpa bukti yang nyata.
[4] Idem 7/507-508
[5] Jaridatul Muslimin edisi 540 hal 10, hari Jum’at 11 Muharram 1416 H.