MEMBEDAH AKAR TERORISME DIALOG ILMIAH BERSAMA SYAIKH ABDUL AZIZ BIN BAZ RAHIMAHULLAHU TENTANG HUKUM MENGGANTI HUKUM ALLAH* (Edisi 2)
- Salman berkata: “Fadhilatusy Syaikh, Ibnu Katsir menukilkan ijma’ akan kekafiran (yang mengganti hukum Allah) dalam Al-Bidâyah wan Nihâyah [1].”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Mungkin karena dia menisbatkannya kepada syariat?!”
- Salman berkata: “Tidak, beliau mengatakan: Barangsiapa yang berhukum dengan selain syariat Allah dari syariat-syariat yang sudah dihapus, maka dia kafir [2]. Maka bagaimana kalau dia berhukum dengan selain itu dari pemikiran manusia?! Tidak diragukan lagi bahwa dia telah murtad….”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Kalaupun (nukilanmu) itu benar, namun Ibnu Katsir tidaklah ma’shum (suci dari kesalahan), dan ucapan beliau membutuhkan renungan kembali, mungkin saja beliau salah seperti yang lainnya. Berapa banyak orang yang menceritakan adanya ijma (tapi keliru)’!”
- Syaikh Ibnu Jibrin berkata: “Mereka menjadikannya sebagai ganti syariat dan mereka mengatakan: Hal itu lebih baik dan utama bagi manusia serta lebih sesuai dengan mereka dari pada hukum-hukum syariat ?!”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Ini adalah kekafiran tersendiri [3], apabila dia mengatakan: Sesungguhnya ini lebih baik dari hukum syariat atau sederajat dengan hukum syariat atau membolehkan berhukum dengan selain hukum Allah, maka ini adalah kufur besar.” [4]
- Peserta berkata: “Orang-orang yang mengkafirkan undang-undang (buatan), mereka mengatakan para pelakunya tidak kafir?! Mereka membedakan permasalahan ini dengan mengatakan bahwa undang-undangnya kafir, namun kita tidak mengkafirkan pelakunya!”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Apabila dia menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah, maka dia kafir, demikian pula individunya divonis kafir (kalau telah terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak ada lagi penghalang-penghalangnya serta yang berhak menghukumi kafir adalah para ulama atau hakim di pengadilan syariat bukan sembarang orang). Dikatakan bahwa si fulan itu kafir, jika dia menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah atau menghalalkan zina, dia kafir, sebagaimana dahulu para sahabat mengkafirkan orang-orang yang murtad, Musailamah [5] kafir, Thulaihah [6] sebelum bertaubat dia kafir. Demikian pula yang memperolok agama dia kafir dan setiap yang melakukan salah satu pembatal (keislaman) dia kafir [7]. Adapun hukuman mati adalah hal lain yang membutuhkan orang tersebut dimintai taubat terlebih dahulu.”
- Peserta berkata: “Akan tetapi, apabila dia (tidak) menisbatkannya kepada syariat, bukankah dia dikatakan sebagai pendusta?”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Ya, dia adalah pendusta.”
- Peserta bertanya: “Akan tetapi, ini tidak kafir?!”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Ya [8]. Adapun jika dia mengatakan: Tidak (dari syariat), tapi saya katakan: itu sama dengan syariat atau lebih baik dari syariat, maka ini kufur. Adapun jika dia menganggapnya sebagai bid’ah maka ahlul bid’ah hukumnya sudah jelas.” [9]
- Aidh Al-Qarni berkata: “Baiklah -wahai Syaikh-, sebagian mereka mengatakan: Sesungguhnya Umar radhiyallahu ‘anhu meninggalkan hudud/hukuman pada saat musim paceklik [10]?”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Ini adalah ijtihad beliau yang beralasan [11], karena pada waktu itu manusia dalam keadaan darurat ketika mencuri.”
- Salman Al-Audah berkata: “Semoga Allah menjaga anda, apa dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam ayat فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُون “mereka adalah orang-orang kafir” tersebut adalah kufur kecil? Apa yang memalingkannya (kepada kufur kecil), padahal konteksnya itu penyempitan?”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Ayat tersebut untuk orang yang menghalalkannya, menurut pendapat yang benar [12]. Dan jika ayat tersebut ditujukan kepada yang tidak menghalalkan, maka maksudnya seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, yaitu ‘kufrun duuna kufrin’. Dan jika tidak demikian, maka secara asal [هُمُ الْكَافِرُونَ] mereka adalah orang-orang kafir [13].”
- Peserta bertanya: “Bukankah dalam atsar Ibnu Abbas tidak ada perkataan ‘jika dia menghalalkan’?!”
- Salman Al-Audah berkata: “Ya benar, apa yang mendorong kita untuk menyelewengkan ayat dari zhahirnya?!”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Karena dia menghalalkannya. Yang demikian itu karena hal tersebut ditujukan kepada orang-orang kafir yang berhukum dengan selain hukum Allah, mereka menghalalkan bangkai dan selainnya [14]. Adapun jika si B atau si C berhukum karena uang suap, apakah kita katakan dia kafir?!! Tidaklah dia dikatakan kafir karena uang suap tersebut. Atau dia menghukum bunuh si D tanpa hak, karena hawa nafsunya, dia tidaklah kafir. (Setelah diam sejenak) Syaikh berkata: Masalah penghalalan dan pengharaman itu punya kedudukan tersendiri, seperti pezina, apakah dia kafir?”
- Salman berkata: “Tidak kafir.”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Apabila dia mengatakan halal?”
- Salman berkata: “Dia kafir.”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Ini dia (yang dimaksud).”
- Salman dan peserta yang lain berkata: “Dia kafir, meskipun tidak berzina?”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Meskipun dia tidak berzina.”
- Salman berkata: “Wahai samahatul walid, kita kembali kepada ayat: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44) Allah mengkaitkan kekafiran tersebut dengan hanya meninggalkan hukum-Nya [15]?”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Ayat itu ditujukan bagi yang menghalalkan untuk meninggalkan hukum Allah.”
- Salman berkata: “Dari mana datangnya pengikat itu?”
- Syaikh Bin Baz menjawab: “Dari dalil-dalil lain yang menyatakan bahwa pelaku kemaksiatan tidaklah kafir, selama dia tidak menghalalkan kemaksiatan tersebut. Namun, dia adalah fasik, zhalim dan kafir [16], dan ini kalau dia menghalalkannya atau menganggap hukum Islam tidak sesuai lagi atau meyakini selain hukum Allah itu lebih baik. Kesimpulannya: Ayat tersebut dibawa kepada orang yang menghalalkannya atau yang lebih dari menghalalkan, dia menganggapnya lebih baik dari hukum Allah. Adapun jika dia berhukum dengan selain hukum Allah karena hawa nafsunya, maka dia pelaku maksiat. Seperti orang yang berzina, karena hawa nafsunya, bukan karena menghalalkannya, anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, karena hawa nafsunya, membunuh karena hawa nafsu, maka dia adalah pelaku maksiat. Namun, jika dia membunuh, durhaka kepada kedua orang tuanya, dan berzina karena menghalalkannya, maka dia kafir. Dengan inilah, kita keluar dari (ajaran) Khawarij, menjauhi Khawarij dan berbeda dengan Khawarij. Jika tidak, maka kita masuk ke dalam jurang (kesesatan), yang orang-oranv Khawarij terjerumus ke dalamnya. Dan yang menjadikan kerancuan dalam diri kelompok Khawarij [17] adalah pemutlakan-pemutlakan ini (seperti statement “Termasuk syirik rububiyah yang paling berbahaya di zaman ini adalah mengganti hukum Allah dengan hukum manusia”).”
[*] Lihat Al-Asilah An-Najdiyah oleh Syaikh Ali Bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari rahimahullahu hal. 15-21 cetakan ketiga tahun 1430 H/2009 M. Catatan kaki yang ada di tulisan ini (selain ini) semuanya adalah ucapan beliau rahimahullahu.
[1] 13/117, padahal ucapan Ibnu Katsir rahimahullahu bukan seperti yang dia katakan, seperti yang akan disebutkan nanti.
[2] Ucapan Imam Ibnu Katsir rahimahullahu masih bersambung dengan apa yang setelahnya: “Dan dia lebih mengutamakannya dari pada hukum syariat! Dan hal ini tidak bisa diketahui hakikatnya dengan yakin melainkan dengan adanya istihlal/penghalalan atau dia meyakini persamaan antara hukum syariat dengan selainnya atau yang serupa dengannya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Samahatusy Syaikh Bin Baz, maka renungkanlah. Dan saya telah menjelaskan maksud ucapan Ibnu Katsir ini dalam kitabku Shaihatu Nadzîr bi Khathari At-Takfîr” hal. 71-76 cet. 1417 H. Alhamdulillah.
[3] Maksudnya: Seandainya dia menjalankan hukum syariat, akan tetapi dia juga membolehkan atau menganggap baik berhukum dengan selain syariat -secara teori-, maka dia kafir.
[4] Diantara ucapan Samahatusy Syaikh Bin Baz rahimahullahu dalam risalah beliau Naqdul Qaumiyah Al-Arabiyah hal. 50, yang mana beliau menjadikan ukuran kekafiran itu adalah istihlal atau yang serupa dengannya. Beliau berkata: “Dan sungguh para ulama telah bersepakat bahwa barangsiapa yang meyakini selain hukum Allah lebih baik dari hukum Allah atau selain petunjuk Rasulullah (lebih baik dari petunjuk beliau, maka dia kafir. Sebagaimana para ulama juga bersepakat bahwa barangsiapa yang meyakini bolehnya seseorang untuk keluar dari syariat Nabi Muhammad), maka dia kafir dan sesat.”
[5] Al-Kadzdzab/pendusta, Al-Makhdzul/yang hina. Lihat ceritanya dalam Târîkhul Islâm 2/27-29 cet. Darul Gharb oleh Imam Adz-Dzahabi.
[6] Dia adalah Thulaihah bin Khuwailid radhiyallahu ‘anhu. Adz-Dzahabi berkata tentangnya dalam Siyar A’lâmin Nubalâ’ 1/317: “Seorang pahlawan sejati, seorang sahabat Rasulullah ﷺ, seorang yang dijadikan permisalan dalam keberaniannya, dia masuk Islam tahun 9 H, kemudian dia murtad, berbuat zhalim, dan mengaku sebagai seorang Nabi di Najd…kemudian dia terkalahkan dan menjadi hina….lalu dia pun mengambil ibrah darinya dan dia masuk Islam kembali serta memperbaiki keislamannya ketika meninggalnya Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dan beliaupun memaafkannya.”
[7] Syaikhul Islam berkata dalam Majmû’ Fatâwa 12/498: “Sesungguhnya pengkafiran secara umum itu seperti ancaman secara umum, wajib untuk mengatakannya secara mutlak dan umum pula. Adapun memvonis perorangan bahwa dia itu kafir atau divonis masuk neraka, maka ini harus ada dalil khususnya, karena vonis tersebut harus ditetapkan syarat-syaratnya dan dihilangkan penghalang-penghalangnya.” Beliau juga berkata dalam 23/345 tentang orang yang mengatakan ucapan kufur: “Akan tetapi pelaku yang mengatakannya tidak bisa langsung divonis kafir hingga tegak baginya hujjah yang bisa kafir orang yang meninggalkannya.” Lihat kitabku At-Tabshîr bi Qawâ’idit Takfîr hal. 31-37.
[8] Kecuali dengan syarat yang telah dijelaskan, maka dia bisa kafir sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya dan yang akan datang.
[9] Yaitu suatu penyimpangan dan kesesatan. Imam Asy-Syathibi berkata dalam Al-I’tishâm 1/50-51 bahwa seorang ahli bid’ah: “Dia telah mendudukkan dirinya seperti sang pembuat syariat (Allah)…Orang yang membuat bid’ah di dalam agama Allah, dia telah menjadikan dirinya sejajar dan sederajat (dengan Allah), yang mana dia membuat syariat bersama-Nya.”. Apakah mereka (ulama) mengkafirkannya?!
[10] Seperti dalam Al-Muwaththa’ 2/748 dan Mushannaf Abdurrazzâq 10/242 serta Al-Muhalla 11/343 oleh Ibnu Hazm. Lihat pula Al-Badrul Munîr (8/679-al-hijrah) oleh Ibnu Al-Mulaqqin, Al-Mughni 9/114 oleh Ibnu Qudamah dan I’lâmul Muwaqqi’în” 3/14 oleh Ibnul Qayyim. Dan dinukil dari keduanya: Fiqhu Umar bin Khaththâb, Muwâzinan bi Fiqhi Asyharil Mujtahidîn 1/290-292 oleh Dr. Ruwa’i Ar-Ruhaili.
[11] Lihat Silsilah Al-Ahâdits Ash-Shahîhah” 2229 oleh guru kami Syaikh Al-Albani rahimahullahu, untuk merenungkan dalil akan ijtihad Umar radhiyallahu ‘anhu yang agung ini.
[12] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmû’ Fatâwa 7/351 setelah menisbatkan ucapan ‘kufrun duuna kufrin” kepada Ibnu Abbas: “Ini adalah ucapan mayoritas ulama salaf, dan inilah yang dikatakan oleh Imam Ahmad dan selain beliau. Dan ini pula yang dijadikan dalil oleh Imam Bukhari dalam Shahîhnya.” Lihat ucapan beliau dalam Minhâjus Sunnah 5/131.
[13] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmû’ Fatâwa 3/265: “Seseorang kapan saja dia menghalalkan yang haram yang telah disepakati atau mengharamkan yang halal yang telah disepakati atau merubah syariat yang telah disepakati, maka dia kafir dan murtad, menurut kesepakatan para fuqaha’. Dan seperti inilah turun firman-Nya, menurut salah satu penafsiran: Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Mâidah: 44), maksudnya dia menghalalkan untuk berhukum dengan selain hukum Allah.” Lihat kitabku Shaihatu Nadzîr hal. 66-67 cet. 1417 H.
[14] Sebab nuzul/turunnya ayat mendukung hal ini. Oleh karena itu, “Ayat ini diturunkan Allah kepada dua kelompok dari orang Yahudi …” seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Lihat takhrij hadits tentang hal ini serta penjelasannya dalam Silsilah Al-Ahâdits Ash-Shahîhah 2552 oleh guru kami Imam Al-Albani rahimahullahu. Lihat pula dua kitabku: At-Tahdzîr min Fitnatil Ghuluw fit Takfîr hal. 42 cet. 3 dan Tanbihât Al-Mutawâimah fir Radd ‘ala Raf’il Lâimah hal. 514.
[15] Yang semisal dengannya adalah keterkaitan vonis kafir bagi yang melakukan (perbuatan tertentu) seperti sabda Nabi ﷺ: “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah, maka dia kafir.” (HR. Tirmidzi) dan sabda beliau: “Janganlah kalian kembali sepeninggalku dalam keadaan kafir, sebagian kalian membunuh sebagian yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim), lalu bagaimana akibatnya nanti?!
[16] Dan bukan berarti ucapan ini meremehkan masalah berhukum dengan selain hukum Allah, seperti yang terkadang disalah pahami dan dituduhkan!
[17] Bahkan Imam Abu Hayyan Al-Andalusi rahimahullahu berkata dalam Al-Bahrul Muhîth 3/493: “Khawarij berhujjah dengan ayat ini untuk mengatakan bahwa setiap pelaku maksiat kepada Allah dia kafir! Dan mereka mengatakan: Ayat ini merupakan nash bahwa setiap yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka dia kafir! Dan setiap orang yang berdosa, maka dia telah berhukum dengan selain hukum Allah, maka pasti dia kafir!!”. Saya katakan: Inilah ucapan dan kelaziman ucapan mereka: [فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي الْأَبْصَارِ]: “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr: 2)
Link PDF: